Jumat, 17 Juni 2011

sekilas tentang TAFSIR MUQADDIMAH FI USUL AT-TAFSIR KARYA IBU TAIMIYAH


sekilas tentang
TAFSIR MUQADDIMAH FI USUL AT-TAFSIR
KARYA IBU TAIMIYAH
by sariono sby
posted, http://referensiagama.blogspot.com.

I. PENDAHULUAN
Penafsiran al-Quran memerlukan metodologi. Tanpa metodologi tafsir, upaya penafsiran al-Quran akan berjalan tanpa kaidah dan lebih bersifat arbitrer, alias suka-suka tanpa alasan rasional.

Di sinilah urgensi metodologi tafsir, atau istilah teknisnya ushul at-tafsir, yang didefinisikan sebagai sekumpulan kaidah (qawâ’id) atau dasar (asas) yang wajib digunakan oleh mufassir untuk menafsirkan al-Quran secara benar.

II. BIOGRAFI PENGARANG
NAMA DAN NASAB

Beliau adalah imam, Qudwah, 'Alim, Zahid dan Da'i ila Allah, baik dengan kata,
tindakan, kesabaran maupun jihadnya; Syaikhul Islam, Mufti Anam, pembela
dinullah daan penghidup sunah Rasul shalallahu'alaihi wa sallam yang telah
dimatikan oleh banyak orang, Ahmad bin Abdis Salam bin Abdillah bin Al-Khidhir
bin Muhammad bin Taimiyah An-Numairy Al-Harrany Ad-Dimasyqy. Lahir di Harran, salah satu kota induk di Jazirah Arabia yang terletak antara sungai Dajalah
(Tigris) dengan Efrat, pada hari Senin 10 Rabiu'ul Awal tahun 661H.

Beliau berhijrah ke Damasyq (Damsyik) bersama orang tua dan keluarganya ketika umurnya masih kecil, disebabkan serbuan tentara Tartar atas negerinyaa. Mereka menempuh perjalanan hijrah pada malam hari dengan menyeret sebuah gerobak besar yang dipenuhi dengan kitab-kitab ilmu, bukan barang-barang perhiasan atau harta benda, tanpa ada seekor binatang tunggangan-pun pada mereka.

Suatu saat gerobak mereka mengalami kerusakan di tengah jalan, hingga hampir
saja pasukan musuh memergokinya. Dalam keadaan seperti ini, mereka
ber-istighatsah (mengadukan permasalahan) kepada Allah Ta'ala. Akhirnya mereka
bersama kitab-kitabnya dapat selamat.


PERTUMBUHAN DAN GHIRAHNYA KEPADA ILMU

Semenjak kecil sudah nampak tanda-tanda kecerdasan pada diri beliau. Begitu
tiba di Damsyik beliau segera menghafalkan Al-Qur'an dan mencari berbagai
cabang ilmu pada para ulama, huffazh dan ahli-ahli hadits negeri itu.
Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat para tokoh ulama tersebut tercengang.

Ketika umur beliau belum mencapai belasan tahun, beliau sudah menguasai ilmu
Ushuluddin dan sudah mengalami bidang-bidang tafsir, hadits dan bahasa Arab.

Pada unsur-unsur itu, beliau telah mengkaji musnad Imam Ahmad sampai beberapa
kali, kemudian kitabu-Sittah dan Mu'jam At-Thabarani Al-Kabir.

Suatu kali, ketika beliau masih kanak-kanak pernah ada seorang ulama besar dari
Halab (suatu kota lain di Syria sekarang, pen.) yang sengaja datang ke Damasyiq, khusus untuk melihat si bocah bernama Ibnu Taimiyah yang kecerdasannya menjadi buah bibir. Setelah bertemu, ia memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan matan hadits sekaligus. Ternyata Ibnu Taimiyah mampu menghafalkannya secara cepat dan tepat. Begitu pula ketika disampaikan kepadanya beberapa sanad, beliaupun dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan menghafalnya. Hingga ulama tersebut berkata: Jika anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar, sebab belum pernah ada seorang bocah seperti dia.

Sejak kecil beliau hidup dan dibesarkan di tengah-tengah para ulama, mempunyai
kesempatan untuk mereguk sepuas-puasnya taman bacaan berupa kitab-kitab yang
bermanfaat. Beliau infakkan seluruh waktunya untuk belajar dan belajar,
menggali ilmu terutama kitabullah dan sunah Rasul-Nya SAW.

Lebih dari semua itu, beliau adalah orang yang keras pendiriannya dan teguh
berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan Allah, mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Beliau pernah berkata: Jika dibenakku sedang berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah yang muskil bagiku, maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih atau kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, di masjid atau di madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfar hingga terpenuhi cita-citaku.

Begitulah seterusnya Ibnu Taimiyah, selalu sungguh-sungguh dan tiada putus-putusnya mencari ilmu, sekalipun beliau sudah menjadi tokoh fuqaha' dan ilmu serta dinnya telah mencapai tataran tertinggi.

PUJIAN ULAMA

Al-Allamah As-Syaikh Al-Karamy Al-Hambali dalam Kitabnya Al-Kawakib AD-Darary yang disusun kasus mengenai manaqib (pujian terhadap jasa-jasa) Ibnu Taimiyah, berkata: Banyak sekali imam-imam Islam yang memberikan pujian kepada (Ibnu Taimiyah) ini. Diantaranya: Al-Hafizh Al-Mizzy, Ibnu Daqiq Al-Ied, Abu Hayyan An-Nahwy, Al-Hafizh Ibnu Sayyid An-Nas, Al-Hafizh Az-Zamlakany, Al-Hafidh Adz-Dzahabi dan para imam ulama lain.

Al-Hafizh Al-Mizzy mengatakan: Aku belum pernah melihat orang seperti Ibnu
Taimiyah .... dan belum pernah kulihat ada orang yang lebih berilmu terhadap
kitabullah dan sunnah Rasulullah shallahu'alaihi wa sallam serta lebih ittiba'
dibandingkan beliau.

Al-Qadhi Abu Al-Fath bin Daqiq Al-Ied mengatakan: Setelah aku berkumpul
dengannya, kulihat beliau adalah seseorang yang semua ilmu ada di depan
matanya, kapan saja beliau menginginkannya, beliau tinggal mengambilnya,
terserah beliau. Dan aku pernah berkata kepadanya: Aku tidak pernah menyangka
akan tercipta manusia seperti anda.

Al-Qadli Ibnu Al-Hariry mengatakan: Kalau Ibnu Taimiyah bukah Syaikhul Islam,
lalu siapa dia ini ?

Syaikh Ahli nahwu, Abu Hayyan An-Nahwi, setelah beliau berkumpul dengan Ibnu Taimiyah berkata: Belum pernah sepasang mataku melihat orang seperti dia .... Kemudian melalui bait-bait syairnya, beliau banyak memberikan pujian kepadanya.

Penguasaan Ibnu Taimiyah dalam beberapa ilmu sangat sempurna, yakni dalam
tafsir, aqidah, hadits, fiqh, bahasa arab dan berbagai cabang ilmu pengetahuan
Islam lainnya, hingga beliau melampaui kemampuan para ulama zamannya.
Al-'Allamah Kamaluddin bin Az-Zamlakany (wafat th. 727 H) pernah berkata:
Apakah ia ditanya tentang suatu bidang ilmu, maka siapa pun yang mendengar atau
melihat (jawabannya) akan menyangka bahwa dia seolah-olah hanya membidangi
ilmu itu, orang pun akan yakin bahwa tidak ada seorangpun yang bisa
menandinginya. Para Fuqaha dari berbagai kalangan, jika duduk bersamanya pasti
mereka akan mengambil pelajaran bermanfaat bagi kelengkapan madzhab-madzhab mereka yang sebelumnya belum pernah diketahui. Belum pernah terjadi, ia bisa dipatahkan hujahnya. Beliau tidak pernah berkata tentang suatu cabang ilmu, baik ilmu syariat atau ilmu lain, melainkan dari masing-masing ahli ilmu itu
pasti terhenyak. Beliau mempunyai goresan tinta indah, ungkapan-ungkapan,
susunan, pembagian kata dan penjelasannya sangat bagus dalam penyusunan
buku-buku.

Imam Adz-Dzahabi rahimahullah (wafat th. 748 H) juga berkata: Dia adalah
lambang kecerdasan dan kecepatan memahami, paling hebat pemahamannya terhadap Al-Kitab was-Sunnah serta perbedaan pendapat, dan lautan dalil naqli. Pada zamannya, beliau adalah satu-satunya baik dalam hal ilmu, zuhud, keberanian, kemurahan, amar ma'ruf, nahi mungkar, dan banyaknya buku-buku yang disusun dan amat menguasai hadits dan fiqh.

Pada umurnya yang ke tujuh belas beliau sudah siap mengajar dan berfatwa, amat
menonjol dalam bidang tafsir, ilmu ushul dan semua ilmu-ilmu lain, baik
pokok-pokoknya maupun cabang-cabangnya, detailnya dan ketelitiannya. Pada sisi
lain Adz-Dzahabi mengatakan: Dia mempunyai pengetahuan yang sempurna mengenai rijal (mata rantai sanad), Al-Jarhu wat Ta'dil, Thabaqah- Thabaqah sanad,
pengetahuan ilmu-ilmu hadits antara shahih dan dhaif, hafal matan-matan hadits
yang menyendiri padanya .. Maka tidak seorangpun pada waktu itu yang bisa
menyamai atau mendekati tingkatannya .. Adz-Dzahabi berkata lagi, bahwa:
Setiap hadits yang tidak diketahui oleh Ibnu Taimiyah, maka itu bukanlah hadist.

Demikian antara lain beberapa pujian ulama terhadap beliau.

DA'I, MUJAHID, PEMBASMI BID'AH DAN PEMUSNAH MUSUH

Sejarah telah mencatat bahwa bukan saja Ibnu Taimiyah sebagai da'i yang tabah,
liat, wara', zuhud dan ahli ibadah, tetapi beliau juga seorang pemberani yang
ahli berkuda. Beliau adalah pembela tiap jengkal tanah umat Islam dari
kedzaliman musuh dengan pedangnya, seperti halnya beliau adalah pembela aqidah
umat dengan lidah dan penanya.

Dengan berani Ibnu Taimiyah berteriak memberikan komando kepada umat Islam
untuk bangkit melawan serbuan tentara Tartar ketika menyerang Syam dan
sekitarnya. Beliau sendiri bergabung dengan mereka dalam kancah pertempuran.
Sampai ada salah seorang amir yang mempunyai diin yang baik dan benar,
memberikan kesaksiannya: ...tiba-tiba (ditengah kancah pertempuran) terlihat
dia bersama saudaranya berteriak keras memberikan komando untuk menyerbu dan
memberikan peringatan keras supaya tidak lari... Akhirnya dengan izin Allah
Ta'ala, pasukan Tartar berhasil dihancurkan, maka selamatlah negeri Syam,
Palestina, Mesir dan Hijaz.

Tetapi karena ketegaran, keberanian dan kelantangan beliau dalam mengajak
kepada al-haq, akhirnya justru membakar kedengkian serta kebencian para
penguasa, para ulama dan orang-orang yang tidak senang kepada beliau. Kaum
munafiqun dan kaum lacut kemudian meniupkan racun-racun fitnah hingga
beliau harus mengalami berbagai tekanan di pejara, dibuang, diasingkan dan
disiksa.

WAFATNYA
Beliau wafatnya di dalam penjara Qal'ah Dimasyq disaksikan oleh salah seorang
muridnya yang menonjol, Al-'Allamah Ibnul Qayyim Rahimahullah.

Beliau berada di penjara ini selama dua tahun tiga bulan dan beberapa hari,
mengalami sakit dua puluh hari lebih. Selama dalam penjara beliau selalu
beribadah, berdzikir, tahajjud dan membaca Al-Qur'an. Dikisahkan, dalam tiap
harinya ia baca tiga juz. Selama itu pula beliau sempat menghatamkan Al-Qur'an
delapan puluh atau delapan puluh satu kali.

Jenazah beliau dishalatkan di masjid Jami'Bani Umayah sesudah shalat Zhuhur.
Semua penduduk Dimasyq (yang mampu) hadir untuk menshalatkan jenazahnya,
termasuk para Umara', Ulama, tentara dan sebagainya, hingga kota Dimasyq
menjadi libur total hari itu. Bahkan semua penduduk Dimasyq (Damaskus) tua,
muda, laki, perempuan, anak-anak keluar untuk menghormati kepergian beliau.

Seorang saksi mata pernah berkata: Menurut yang aku ketahui tidak ada seorang
pun yang ketinggalan, kecuali tiga orang musuh utamanya. Ketiga orang ini pergi
menyembunyikan diri karena takut dikeroyok masa. Bahkan menurut ahli sejarah,
belum pernah terjadi jenazah yang dishalatkan serta dihormati oleh orang
sebanyak itu melainkan Ibnu Taimiyah dan Imam Ahmad bin Hambal.

Beliau wafat pada tanggal 20 Dzul Hijjah th. 728 H, dan dikuburkan pada waktu
Ashar di samping kuburan saudaranya Syaikh Jamal Al-Islam Syarafuddin.

III.METODOLOGI DAN SISTEMATIKA PENULISAN

Pokok-Pokok Metodologi TafsirMetodologi tafsir secara garis besar tidak keluar dari lingkup metodologi tafsir Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Metodologi tafsir beliau dapat diringkas dalam pokok-pokok berikut:
1. Menjadikan bahasa Arab penafsir al-Quran.
Prosedur pemaknaan al-Quran dengan bahasa Arab adalah sebagai berikut:
a) Suatu ayat hendaknya lebih dulu ditafsirkan menurut haqîqah syar’iyyah, yaitu makna hakiki menurut syariah. Misalkan kata shalat (QS al-Baqarah [2]: 34) harus ditafsirkan secara syar’i sebagai shalat yang dicontohkan Rasulullah saw. meski makna asal shalat secara bahasa adalah ad-du’â (doa).
b) Jika tidak ada makna syar’i-nya, hendaklah ayat ditafsirkan menurut haqîqah ‘urfiyah, yaitu makna hakiki menurut kebiasan orang Arab berbicara. Jika makna haqîqah ‘urfiyah juga tak ada, maka ayat ditafsirkan menurut haqiqah lughawiyah, yaitu makna hakiki sebagai makna asal bahasa.
c) Jika suatu ayat tidak dapat ditafsirkan dalam ketiga makna hakikinya mengikuti tertib di atas, ia diartikan menurut makna majazinya. Makna majazi adalah makna sekunder, setelah makna primernya (yaitu makna hakiki) tidak dapat digunakan dalam pengertian aslinya. Misal kata wajh[un] dalam ayat yang berbunyi wa yabqa wajhu rabbika (QS ar-Rahman [55]: 27). Kata wajh[un] tidaklah tepat jika diartikan dalam makna hakikinya (wajah): Tetap kekal wajah Tuhanmu.” Sebab, tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah. (QS asy-Syura [42]: 11). Karena itu, kata wajah itu hendak-lah dialihkan menuju makna majazinya, yaitu zat, sehingga makna ayat menjadi: Tetap kekal Zat Tuhanmu (hlm. 27-28).
d) Suatu ayat dapat ditafsirkan dengan mengetahui isytiqâq, yaitu proses derivasi berbagai kata yang berasal dari sebuah akar kata. Misalkan kata rahmah, rahîm dan rahmân, yang berasal dari kata rahima. Proses isytiqâq menurut wazan (pola baku pembentukan kata) dalam bahasa Arab meski melahirkan banyak kata, namun memiliki makna umum yang sama. Misalnya kata rahmân (QS al-Isra’ [17]: 110), artinya adalah kasih sayang yang banyak (katsîr ar-rahmah), yang masih satu makna secara umum dengan akar katanya, yakni rahima (mengasihi/menyayangi) (hlm. 33).
e) Suatu ayat dapat ditafsirkan dengan mengetahui ta’rîb, yaitu proses arabisasi suatu kata yang berasal dari bahasa non-Arab sesuai dengan wazan bahasa Arab. Misalkan kata sundus dan istabraq (QS al-Insan [76]: 21) yang berasal dari bahasa Nabatean (an-nabathiyah). Kedua kata itu dapat diberi makna oleh orang Arab mengikuti makna aslinya dari bahasa yang non-Arab, yaitu sundus berarti sutra halus; sedangkan istabraq berarti sutra kasar

2. Menjadikan Akal Penafsir al-Quran dalam batas kemampuannya.
Akal hanya dapat berfungsi jika obyek yang dipikirkan adalah fakta yang dapat diindera. Jika yang dipikirkan bukan fakta yang dapat diindera.
Karena itu, perkara-perkara gaib tidak dapat dibahas menggunakan akal, melainkan harus menggunakan sarana lain, yaitu dalil naqli (berita yang dinukil dari al-Quran dan as-Sunnah). Contoh: kata kalâmullâh (QS at-Taubah [9]: 6). Allah sendiri telah menyebut bahwa al-Quran adalah kalamullah. Dalam hal ini, tidak perlu dibahas lagi mengenai kayfiyah (bagaimana) caranya Allah ber-kalam (berfirman) itu.

3. Menjadikan muhkam hakim untuk mutasyâbih.
Muhkam artinya ayat yang hanya memiliki satu makna. Mutasyâbih adalah ayat yang mengandung makna lebih dari satu. Muhkam adalah induk al-Quran atau makna asal yang wajib menjadi rujukan (QS Ali ‘Imran [3]: 7). Karena itu, muhkam menjadi hakim (penentu) makna mutasyâbih (hlm.28-29). Contoh mutasyâbih adalah kata wajh[un] (QS ar-Rahman [55]: 27). Kata ini tidak dapat diartikan “wajah tetapi tak seperti wajah kita”. Sebab, pemaknaan ini masih tetap mengikuti arti hakikinya, yakni wajah. Padahal akidah Islam tidak membolehkan adanya tasybîh (penyerupaan) Allah dengan makhluk-Nya. Jadi, kata wajh[un] yang mutasyâbih (QS ar-Rahman [55]: 27) ini wajib dipalingkan ke arah makna majazinya, karena ada ayat muhkam (QS asy-Syura [42]: 11) sebagai hakim yang tidak membenarkan makna hakikinya, yakni firman Allah yang muhkam:
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya (QS asy-Syura [42]: 11).

4. Memperhatikan hubungan ayat sebelumnya dengan sesudahnya.
Klik dibawah ini untuk mendapatkan web hosting Gratisan
Web Hosting
ABU HURAIRAH
by sariono sby
posted, http://referensiagama.blogspot.com
PENDAHULUAN

Anda sering mendengar sebuah nama mulai duduk di bangku madrasah ibtidaiyah sampai perguruan tinggi ? Namun sebenarnya siapakah Abu Hurairah itu ? seorang sahabatkah atau tabi’in?
Dalam persepektif ahli-ahli sejarah muslim, tidak ada sahabat yang meriwayatkan hadis Nabi lebih banyak dari Abu Hurairah. Hadis-hadisnya lebih banyak dari sahabat yang lebih lama hidup bersama Nabi dan bahkan lebih banyak dari Istri-istri Nabi Muhammad. Orang bertanya-tanya bagaimana mereka harus menerangkan fakta ini. Begitu banyaknya hadis yang diriwayatkannya telah mendorong ulama-ulama di zaman dahulu maupun sekarang untuk mendiskusikan keandalan Abu Hurairah.
Oleh karenanya, tidaklah mengherankan bila ulama-ulama ortodoks telah berupaya dengan seksama sepanjang zaman untuk membersihkan tokoh ini dari cela, terkadang dengan cara melakukan interpretasi-interpretasi yang tidak masuk akal terhadap sumber-sumber historis yang dapat memberikan peluang untuk mencela Abu Hurairah. Dapat dilihat pula bahwa ulama-ulama kontomporer Mesir bahkan telah melangkah lebih jauh dalam membela Abu Hurairah dibandingkan ulama pada masa awal.
Diskusi lain harus pula diakui bahwa serangan-serangan terhadap figur ini yang dilancarkan oleh penulis-penulis kontemporer, memang sangat sengit. Salah seorang penulis yang melancarkan serangan pribadi terhadap Abu Hurairah adalah Mahmud Abu Rayyah. Ia adalah seorang murid di madrasah al-Dakwah wal Irsyad, lembaga da’wah muslim yang didirikan oleh Rasyid Ridho. Orientasi utama Mahmud Abu Rayyah adalah untuk membersihkan sejarah Nabi Muhammad dari segala takhayyul dan cerita bohong yang muncul diseputar pribadi Nabi, terutama akibat periwayatan hadis yang berlebihan oleh Abu Hurairah
Kontroversi hadis-hadis Abu Hurairah banyak dilatar belakangi kepentingan politik salah suatu penguasa pada saat itu, sehingga banyak hadis pesanan yang harus dimunculkan di publik untuk mencapai tujuan kepentingannya. Hadis-hadis palsu banyak dimunculkan oleh Abu Hurairah sehingga sampai saat ini masih terjadi kontroversi hadis-hadis yang dikeluarkan Abu Hurairah. Dan yang paling tidak masuk akal dari hadis-hadisnya adalah sebagian didapat dari imajinasinya. 
























PEMBAHASAN

1. Histori Singkat Abu Hurairah
Abu Hurairah adalah Abdurrahman bin Sakhir bin Tsalabah bin Salim bin Fahmi bin Ghanan bin Daws Al Yaman, dinisbatkan kepada Dausi bin Udtsan bin Abdillah bin Zahran bin Ka’bah bin Al Harits bin Kalb bin Abdillah bin Malik bin Nashar bin Syanuah bin Al Azd, Al Azd termasuk kabilah yang paling besar dan terkenal di Arab dan dinisbatkan pula pada Al Azad bin Ghauts bin Nuhat bin Malik bin Kahlan dari Arab Al Qathaniyah.
Para ahli sejarah berbeda pendapat mengenai nama beliau, demikian pula tentang nama ayahnya. Beliau sendiri menerangkan, bahwa di masa Jahiliyah beliau bernama Abu Syams. Setelah memeluk Islam, beliau diberi nama oleh Nabi dengan Abdur Rahman al-S}ahri atau Abdullah, ibunya bernama Maimunah, yang memeluk Islam berkat seruan Nabi. Beliau lahir tahun 21 sebelum Hijriyah = tahun 602 M.
Abu Hurairah datang ke Madinah pada malam futuh Khaibar pada bulan Muharram tahun 7 H. Lalu memeluk agama Islam. Setelah beliau memeluk Islam, beliau tetap beserta Nabi dan menjadi ketua Jama’ah Ahlus Suffah, karena inilah beliau mendengar Hadis Nabi. Abu Hurairah lahir di Yaman dan besar disana sampai ia berumur lebih dari 30 tahun. Ia demikian bodoh dan tidak memiliki wawasan ataupun pengetahuan. Ia adalah seorang papa yang pelupa oleh karena usianya, seorang yatim yang diterjang kemiskinan, menjadi buruh ini dan itu pada laki-laki ataupun wanita hanya untuk mengisi perutnya
Rasulullah menjulukinya “Abu Hurairah (bapak kucing kecil)” , ketika beliau melihatnya membawa seekor kucing kecil. Julukan dari Rasulullah itu semata karena kecintaan beliau padanya. Sehingga jarang ada orang yang memanggilnya dengan nama sebenarnya (Abdurrahman bin Sakhr). Dan Nabi menjulukinya seperti itu karena setiap hari Abu Hurairah selalu membawa kucing kemana ia pergi dan pada malam hari ditempatkan disebuah pohon.sehingga beliau juga disebut bapaknya kucing, karena kecintaan Abu Hurairah.

2. Abu Hurairah, Pada Masa Rasulullah, para Sahabat
Abu Hurairah memeluk Islam pada tahun ke 7 H, yakni bertepatan dengan terjadinya perang Khaibar. Ia adalah pemimpin para ahli Suffah, yang menggunakan seluruh waktunya beribadah di masjid Nabawi. Allah ternyata mengabulkan do’a Nabi Muhammad SAW, agar Abu Hurairah dianugerahi hafalan yang kuat. Ia memang paling banyak hafalannya diantara para sahabat. Imam Bukhari, Muslim, Ahmad, al-Nasa>i>, Abi> Ya’la> dan Abi> Nu’aim mentakhrijkan sebuah hadis darinya, bahwa ia pernah berkata :
حدثنا الحسن ابن حماد حدثنا معاوية ابن هشام عن الوليد ابن عبد الله ابن جُمَيْع عن أبي الطفيل عن أبي هريرة قال: «شكوت إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم سوء الحفظ قال:«افتح كساءك قال: ففتحته. قال : ضمه. قال: فما نسيت بعد شيئا» .

Artinya : Menceritakan kepada kami Hasan ibn Hamma>d, menceritakan kepada kami Mu’a>wiyah ibn Hisha>m dari Wali>d ibn ‘Abdulla>h ibn Jumai’ dari Abi> T{ufail dari Abi> Hurairah ia berkata : Aku pernah mengadu kepada Rasulullah SAW tentang jeleknya hafalan, Rasulullah bersabda : “Bentangkanlah selendangmu”, akupun membentangkannya. Lalu Rasulullah menceritakan banyak hadith kepadaku dan aku tidak melupakan sedikitpun apa yang beliau ceritakan kepadaku.
Abu Hurairah betapapun wira’i, takwa dan zuhudnya selalu gembira dan suka berkelakar. Apabila melewati anak-anak, ia kerapkali membuat mereka tertawa, kalau bertemu dengan orang-orang dipasar, ia menceritakan sesuatu yang membuat mereka gembira. Tetapi jika sedang sendirian ia bertahajjud, yang dilakukan dengan khusyu’ sepanjang malam. Bahkan menurut pengakuan Abu Hurairah sendiri, ia telah membagi waktu setiap harinya menjadi tiga bagian , sebagian untuk beribadah sebagian untuk menghafal hadis dan sebagian lagi untuk istirahat. Kelebihan lain yang dimiliknya adalah kuat dalam hafalan dan ia tergolong pada salah seorang fari tujuh sahabat yang paling banyak hafalannya di bidang hadis.
Adapun sahabat-sahabat tersebut adalah :
1) Abu Hurairah; Abdurrahman bin Sakhr Al-Dausi Yamany, lahir tahun 19 SH dan wafat pada tahun 59 H. Jumlah hadis yang diriwayatkannya adalah 5374 buah hadis.
2) Abdullah bin Umar bin Al-Khotib ra, yang lahir tahun 10 SH dan wafat pada tahun 73 H. Jumlah hadis yang diriwayatkannya adalah 2630 buah hadis.
3) Anas bin Malik ra, yang lahir pada tahun 10 SH dan wafat pada tahun 93 H. Jumlah hadis yang diriwayatkannya adalah 2286 buah hadis.
4) Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shidiq, Umul Mu’minin yang lahir 9 H dan wafat pada tahun 58 H. Jumlah hadis yang diriwayatkannya adalah 2210 buah hadis.
5) Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib yang lahir 3 SH dan wafat pada tahun 68 H. Jumlah hadis yang diriwayatkannya adalah 1660 buah hadis.
6) Jabir bin Abdillah al-Anshory yang lahir 6 SH dan wafat pada tahun 78 H. Jumlah hadis yang diriwayatkannya adalah 1540 buah hadis.
7) Abu Said Al Khudry, yang lahir 12 SH dan wafat pada tahun 59 H. Jumlah hadis yang diriwayatkanya adalah 1170 buah hadis.
Pada Masa Nabi. Kontroversi Abu Hurairah sudah bisa ditemukan dan dianalisa pada masa bersama Nabi. Bukhori menyebutkan , bahwa Abu Hurairah berkata : “orang-orang mengatakan bahwa Abu Hurairah meriwayatkan begitu banyak hadis yang barangkali tidak dikatakan oleh Nabi. Aku mendekati Nabi hanya untuk memuaskan laparku.” Abu Hurairah meriwayatkan hadis-hadisnya hanya untuk membuat senang orang kebanyakan pada dirinya terutama setelah meninggalnya Sahabat-Sahabat besar.
Pada Masa Khalifah. Pada masa Utsman. Abu Hurairah menjadi sangat bergairah kepada keluarga Abdul Ass dan seluruh Bani Umayyah ketika Utsman menjadi Khalifah. Ia menggandeng Marwan bin Hakam serta menyanjung keluarga Abu Ma’ith, karena itu ia menjadi orang yang penting terutama setelah pengepungan rumah Utsman selama revolusi melawannya, sebab Abu Hurairah bersamanya didalam rumah itu. Karenanya, ia memperoleh kemekaran dan ketenaran.
Abu Hurairah mendapatkan momen yang pas untuk mencari kesempatan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat dengan bergabung dengan gerombolan Utsman yang dikepung oleh pemberontak, karena Abu Hurairah tahu bahwasannya para pemberontak tersebut hanya mengincar nyawa Utsman.
Contoh hadis Abu Hurairah yang merupakan hanya untuk kepentingan pribadinya dan demi untuk menyenangkan orang yaitu :
حدّثنا محمد بن الحسن الأسدي قال ثنا إبرٰهيم بن طهمان عن موسى بن عقبة عن جدة أبي حسنة قال : دخلت الدار على عثمٰن وهو محصور، فسمعت أبا هريرة يقول: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: «إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِي فِتْنَةً وَاخْتِلاَفًا»، قال: فقال له قائل: فما تأمرنا ؟ فقال: «عَلَيْكُمْ بِالأَمِيرِ وَأَصْحَابِهِ ».

Artinya : Menceritakan kepada kami Muhammad ibn Hasan al-Asadi> berkata, keduanya memuji Ibrahim ibn T{ahman dari Musa ibn ‘Aqabah dari kakeknya Abi Hasanah berkata : saya masuk ke rumah Usman kemudian saya mendengar Abu Hurairah berkata : saya mendengar Rasulullah SAW. Bersabda : “Akan ada kerusuhan dan perselisihan setelahku.” Mereka berkata, “apa yang Engkau perintahkan kepada kami kalau begitu?” Beliau bersabda, menunjuk kepada Imam Ali,” pertahankan Amir serta sahabat-sahabtnya.”

Akan tetapi Abu Hurairah lebih membuat senang keluarga Abul Ash, Abu Ma’ith dan Abu Sofyan, karena itu ia mengubah hadis ini kepada Utsman. Dan sebagai imbalannya, mereka memberi hadiah untuk segala “kebaikannya.”
Dari sini sudah bisa disangsikan bahwasannya sebgian hadis dari Abu Hurairah tidak sesuai dengan ucapan Nabi. Pada masa Bani Umayyah juga demikian. Bani Umayyah memperbudak Abu Hurairah dengan berbagai kebaikan mereka, mereka mengambil pendengaran, penglihatan serta hatinya, dan menjadikannya seorang yang penurut, jadi ia adalah sarana dari kebijakan-kebijakan mereka.
Bani Umayyah menyuruh Abu Hurairah membuat hadis-hadis tersebut diatas hanya untuk kepentingan politis untuk mengalahkan Imam Ali. Karena dengan menyebar hadis-hadis palsu yang bisa menjatuhkan Imam Ali, akan mudah baginya utnuk mempengaruhi masyarakat agar membenci Ali dan target Muawiayah akan berhasil. Berikut contoh hadisnya yang mencemarkan Imam Ali. Nabi bersabda :
عَنْ مرةَ الهمداني قَالَ: «قَرَأَ عَلَيْنَا عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ صَحِيفَةً قَدْرَ إِصْبَعٍ كَانَتْ فِي قِرَابِ سَيْفِ رَسُولِ اللَّهِ وَإِذْ فِيهَا: إِنَّ لِكُل نَبِيَ حَرَمَاً، وَأَنَا أُحَرمُ المَدِينَةَ، مَنْ أَحْدَثَ فِيهَا حَدَثَاً أَوْ آوىٰ مُحْدِثَاً، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِين. قال : وأشهد بالله أن علياأحدث فيها فلما بلغ معاوية قوله أجازه وأكرمه وولاه إمارة المدينة.
Artinya : dari Marrah al-Hamdani berkata : ‘Ali ibn Abi T{alib membacakan kepada kami s{hifah sekedarnya di dekat pedang Rasulullah SAW : “ Setiap Nabi mempunyai tempat suci. Tempat suciku adalah Madinah. Barang siapa yang berbuat kerusakan di Madinah, akan dikutuk oleh Allah, para malaiakat dan seluruh umat manusia.” Aku bersumpah demi Allah bahwa Ali telah berbuat kerusakan di dalamnya. Ketika mendengar ucapan itu, Muawiyah menyetujuinya, memberi imbalan serta mengangkatnya menjadi Gubernur Madinah.

Disini jelas keluarnya hadis buatan Abu Hurairah adalah untuk kepentingan Muawiyah dan itu sangat bertentangan dengan pribadi Ali yang dimuliyakan oleh Nabi.

3. Jumlah Hadis-Hadis Abu Hurairah
Semua yang mengumpulkan hadis secara bulat setuju bahwa Abu Hurairah telah meriwayatkan hadis-hadis lebih banyak dari siapapun juga. Mereka telah menghitung hadis-hadisnya, yang berjumlah 5.374 buah. Bila dibandingkan dengan keempat khalifah, jumlah ini sangat banyak. Abu Bakar telah meriwayatkan sejumlah 142 Hadis, Umar meriwayatkan 537 Hadis, Utsman 146 dan Ali meriwayatkan 586. jadi total hadis semuanya adalah 1.411 buah hadis.
Jika dibandingkan dengan masa hidup bersama dengan Nabi, Abu Hurairah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan para Sahabat. Diperkuat lagi dengan Aisyah (istri Nabi), hadis-hadis yang diriwayatkan berjumlah 2.210 buah meskipun ditambahkan dengan yang diriwayatkan Ummu Salamah, bahkan seluruh istri Nabi itupun masih kalah banyak dibandingkan hadis Abu Hurairah.

4. Contoh Hadis-Hadisnya
Dua orang ulama besar menyebutkan bahwa Abu Hurairah telah berkata : “ Nabi Muhammad SAW bersabda “ Ya Allah, Muhammad tidak lain hanyalah manusia biasa. Ia marah sebagaimana manusia lainnya. Aku berjanji pada-Mu yang Engkau tidak akan membatalkannya. Setiap mukmin yang aku lukai, aku aniaya, kutuk serta aku dera, biarkan itu menjadi penebus dosanya serta menjadi jalan baginya agar menjadi lebih dekat dengan-Mu.
Hadis diatas sangat bertentangan dengan Nabi, Nabi-Nabi jauh dari setiap ucapan atau tindakan yang akan bertentangan dengan kemaksuman mereka atau dengan semua yang tidak akan cocok dengan kebijaksanaan serta kearifannya. Ini juga diperkuat oleh Aisyah (istri Nabi) tentang akhlak Nabi, suatu hari ada orang yang bertanya tentang akhlak Nabi Muhammad SAW. Aisyah mengatakan padanya, “Apakah engkau membaca Qur’an?” ia berkata, “ya” Aisyah berkata , “Qur’an adalah akhlaknya”
Abu Hurairah mengeluarkan hadis diatas hanya untuk melindungi dan membela kemunafikan bani Umayah yang telah melakukan penganiayaan dan pengrusakan.
Muslim menyebutkan bahwa Abdul Malik bin Abu Bakar berkata bahwa Abu Bakar telah berkata :
حدثنا عبد الله ، حدثني أبي، حدثنا يحيـى بن سعيد ، عن ابن جريج قال: حدثني عبد الملك بن أبي بكر بن عبد الرحمن بن الحارث بن هشام ، عن أبيه:«أنه سمع أبا هريرة يقول: من أصبح جنباً من غير احتلام فلا يصوم فانطلق أبو بكر وأبوه عبد الرحمن حتى دخلا على أم سلمة وعائشة، فكلتاهما قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلّم يصبح جنباً من غير احتلام ثم يصوم فانطلق أبو بكر وأبوه عبد الرحمن فأتيا مروان، فحدثاه، ثم قال: عزمت عليكما لما انطلقتما إلى أبي هريرة فحدثتماه، فانطلقا إلى أبي هريرة،فأخبراه قال: هما قالتاه لكما؟ فقالا: نعم، قال: هما أعلم، إنما أنبأنيه الفضل بن عباس».
Artinya : menceritakan kepada kami ‘Abdullah, menceritakan kepadaku Ubay, menceritakan kepada kami Yahya ibn Sa’id dari Ibn Juraij berkata : “Aku mendengar Abu Hurairah meriwayatkan dalam berbagai ceritanya “ Barangsiapa yang tidak suci setelah fajar, maka ia tidak berpuasa”. Aku sampaikan hadith ini kepada Aisyah dan Ummu Salamah (Istri Nabi), bertanya kepada mereka dan mengatakan padaku “ Nabi tidak suci di pagi hari tanpa mimpi basah dan beliau berpuasa”. Kemudian ditanyakan dan dibicarakan kepada Abu Hurairah yang disampaikan Aisyah dan Ummu Salamah. Abu Hurairah berkata “mereka lebih tahu daripada aku”. Aku mendengar hadis ini dari al-Fadhl dan tidak mendengarnya dari Nabi langsung.

5. Kaum Muslim terkemuka menolak Hadis-Hadisnya
Orang-orang menolak serta mencela berlebihannya Abu Hurairah dalam meriwayatkan hadis-hadis pada masanya. Ia melebihi seluruh batas dan memiliki sebuah gaya khusus yang membuat orang-orang meragukannya serta meragukan pula hadis-hadisnya. Mereka menolak kuantitas serta kualitasnya dari hadis-hadisnya dan secara terang-tarangan menyalahkannya.
Mustafa Sadiq ar-Rafi dalam hal ini berkata, “yang paling banyak meriwayatkan hadis diantara para Sahabat adalah Abu Hurairah. Persahabatannya dengan Nabi hanya tiga tahun, oleh karena itu Umar, Utsman, Ali serta Aisyah menolak hadis-hadisnya serta meragukannya. Ia adalah perawi pertama dalam sejarah Islam yang diragukan (dituduh membuat hadis). Aisyah paling keras menolak hadis-hadisnya. An Nazzam juga berkata “Umar, Utsman, Ali serta Aisyah memandang Abu Hurairah seorang pendusta.”

6. Kritik Mahmud Abu Rayyah terhadap Abu Hurairah
Keberadaan Abu Hurairah yang memiliki kemampuan meriwayatkan hadis sangat banyak dibanding dengan para sahabat yang lain, menyebabkan dirinya tidak lepas dari lontaran kritikan. Diantaranya adalah kritikan yang disampaikan oleh Mahmud Abu Rayyah terhadap Abu Hurairah. Kritikan ini ditujukan untuk menjatuhkan atau menurunkan reputasinya dibidang hadis. Kritikan tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

a. Dugaan bahwa Abu Hurairah itu Rakus
Abu Rayyah mencoba untuk menurunkan reputasi Abu Hurairah dengan menguraikan tentang reputasinya sebagai orang yang rakus, seperti yang disebutkan oleh Ats Tsa’alibi, dalam bukunya yang berjudul Thima>r Al-Qutub Fi al-Muda>f wal Manshu>b. Dalam buku tersebut dikatakan bahwa Abu Hurairah rakus dikala makan, terutama menyukai makanan yang berupa campuran susu dan daging. Hal ini membuat Abu Hurairah mendapat julukan Syeikh Al-Mudhirah yang terkenal memliki kesukaan makanan mudhirah bersama Muawiyah Ibn Abi Sofyan. Bahkan ada sebuah riwayat yang dikutip oleh Abu Rayyah, yang menyebutkan bahwa Abu Hurairah pernah berkata bahwa : “Mudhirah Mu’awiyah lebih berminyak dan lebih lezat, sedangkan sholat dibelakang Ali lebih baik”. Abu Rayyah juga mengutip dari Ats Tsa’labi beberapa gurauan yang diduga keras gurauannya milik Abu Hurairah. Menurut Abu Rayyah, prilaku Abu Hurairah itu tidak serius (tidak sungguh-sungguh), sedangkan riwayat yang pertama itu menunjukkan bahwa Abu Hurairah itu tidak objektif.
As Siba’i dan As Samahi ikut turun untuk membela Abu Hurairah. Ia menolak upaya-upaya menyalahkan dan mempertalikan hal-hal seperti tersebut diatas, bahwa Allah tidak pernah melarang manusia menikmati makanan Allah, juga tidak pernah mencela perbuatan polos yang menggelikan hati. Abu Hurairah jelas-jelas seorang yang suka humor dengan kegembiraan yang tidak mengganggu, kata As Siba’i dan As Samahi kelakar Abu Hurairah terhadap orang lain tidaklah mengurangi karakternya atau keandalannya dalam meriwayatkan hadis-hadis dari Nabi. As Siba’i memberikan interpretasi-interpretasi yang panjang bahwa semua gurauan yang dikutip oleh Abu Rayyah benar-benar tidak merugikan pihak lainnya. Selanjutnya Abu Rayyah disalahkan karena mengutip penulis-penulis seperti Ats Tsa’alabi dan Hamadzani yang karya-karyanya tidak dapat dianggap sebagai sumber-sumber yang andal untuk memperoleh data historis.

b. Berapa lama Abu Hurairah tinggal bersama Nabi?
Problem berapa lama sebetulnya Abu Hurairah tinggal bersama Nabi, mengusik pikiran banyak orang. Mulai dari masa Abu Hurairah bersama Nabi sampai wafatnya Nabi, berlalu waktu lima bulan. Namun terdapat catatan-catatan historis yang menyebutkan bahwa Abu Hurairah sendiri berkata “ aku bersama Nabi selama tiga tahun” dengan berasumsi bahwa Abu Hurairah menyebutkan tiga tahun hanyalah untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak tinggal bersama Nabi terus menerus selama 50 bulan, tetapi bahwa dirinya juga melewatkan beberapa waktu, paling sedikit lebih dari tiga tahun. Pada akhir 8 H Nabi Muhammad mengutus Abu Hurairah bersama sama dengan Al A’la bin Al Hadhrami ke Bahrain untuk menjalankan misi. Ini dikukuhkan dalam semua sumber. Dari sinilah mulai timbul berbagai kesulitan untuk menentukan berapa lama ia bersama Nabi.
Keadaan yang menyulitkan dalam menentukan berapa lama Abu Hurairah bersama Nabi, ini dimanfaatkan dengan baik oleh Abu Rayyah. Abu Rayyah berpendapat bahwa Abu Hurairah tidak kembali dari Bahrain sampai disuruh pulang oleh Umar bin Khatab ketika Umar menjabat sebagai Khalifah. Dengan ini ia mengatakan secara tidak langsung bahwa Abu Hurairah tinggal dekat dengan Nabi hanya selama satu tahun sembilan bulan, bukannya tiga tahun atau lebih. tetapi terdapat riwayat-riwayat yang menegaskan bahwa Abu Hurairah tidak lama berada di Bahrain, ia segera kembali ke Madinah.
Abu Rayyah disini meragukan semua Abu Hurairah karena mustahil bagi ia orang yang sebentar bersama Nabi bisa meriwayatkan Hadis yang begitu banyak. Dengan pendapatnya diatas bisa melemahkan Abu Hurairah.

c. Banyaknya jumlah Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
Berapa banyak hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah dalam waktu yang relatif singkat, sehingga menyebabkan banyak pihak bertanya-tanya. Abu Rayyah mengutip riwayat-riwayat termasyhur yang disampaikan Abu Hurairah yang mengatakan :
حدّثنا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَ أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَ زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ . جَمِيعاً عَنْ سُفْيَانَ . قَالَ زُهَيْرٌ : حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنِ الأَعْرَجِ . قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ ، يَقُولُ: إِنَّكُمْ تَزْعُمُونَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ يُكْثِرُ الْحَدِيثَ عَنْ رَسُولِ اللّهِ . وَاللّهُ الْمَوْعِدُ. كُنْتُ رَجُلاً مِسْكِيناً. أَخْدُمُ رَسُولَ اللّهِ عَلَى مِلْءِ بَطْنِي. وَكَانَ الْمُهَاجِرُونَ يَشْغَلُهُمُ الصَّفْقُ بِالأَسْوَاقِ. وَكَانَتِ الأَنْصَارُ يَشْغَلُهُمُ الْقِيَامُ عَلَى أَمْوَالِهِمْ.

Artinya : menceritakan kepada kami Qutaibah ibn Sa’id dan Abu Bakr ibn Abi> Syaibah dan Zuhair ibn Harb. Semuanya dari sufyan. Zuhair berkata : menceritakan kepada kami Sufyan ibn ‘Uyaynah dari Zuhri dari A’raj. Berkata : saya mendengar Abu Hurairah berkata : “sesungguhnya kamu sekalian mengaku bahwa Abu Hurairah telah meriwayatkan sedemikian banyak hadis dari Nabi, Tuhan menjadi saksi bagiku aku ini orang miskin, yang mengabdi kepada Nabi hanya untuk mendapatkan makanan (‘ala> mil’i bat}ni), sedangkan orang-orang Muhajir sibuk di pasar dan orang-orang Anshar sibuk dengan kekayaan mereka”.

Versi lain mengatakan bahwa Abu Hurairah berkata :
حدّثنا أبو اليَمانِ قال: حدَّثَنا شُعيبٌ عن الزُّهريِّ قال: أخبرَني سعيدُ بن المسيَّبِ وأبو سلمةَ بنُ عبدِ الرحمنِ أنَّ أبا هريرةَ رضيَ الله عنه قال: «إنَّكم تَقولونَ: إِن أبا هريرةَ يُكثِرُ الحديثَ عن رسولِ الله صلى الله عليه وسلّم وتقولون: مابالُ المهاجرينَ والأنصارِ لايُحدِّثون عن رسولِ الله صلى الله عليه وسلّم بمثلِ حديثِ أبي هريرة؟ وإِن إخوتي من المهاجرينَ كان يَشْغَلُهُم الصَّفقُ بالأسواقِ وكنتُ ألزَمُ رسولَ الله صلى الله عليه وسلّم على ملْءِ بَطني، فأشهَدُ إذا غابوا، وأحفَظُ إذا نَسُوا.

Artinya : menceritakan kepada kami Abu> al-Yamma>n berkata : menceritakan kepada kami Shu’aib dari Zuhri berkata : mengkhabarkan kepadaku Sa’i>d ibn Musayyab dan Abu> Salamah ibn ‘Abdurrahman bahwasanya Abu Hurairah berkata : “Engkau katakan bahwa Abu Hurairah telah meriwayatkan sedemikian banyak, Allah dapat membuktikan aku dan engkau kenapa orang-orang Muhajir dan Anshar tidak meriwayatkan sebanyak dirinya. Baik, aku katakan padamu saudaraku dari kaum Anshar sibuk menggarap tanah-tanah mereka, sedangkan aku tinggal bersma Nabi hanya untuk mendapatkan makanan. Aku hadir mereka tidak hadir, dan aku hafal sedangkan mereka lupa.

As Siba’i menafsirkan riwayat-riwayat tersebut sebagai keajaiaban yang dianugerahkan pada seseorang, tidak ditemukannya tanda-tanda kecurigaan, apalagi tuduhan adanya kebiasaan berdusta, dalam kata-kata ini As Samahi menyatakan bahwa tiga tahun terakhir sebelum Nabi wafat, terjadi begitu banyak peristiwa sehingga dapat menjadi penyebab sedemikian banyak hadis yang mengalir dari Abu Hurairah. Abu Hurairah juga meriwayatkan peristiwa-peristiwa sebelum kabar sahabat-sahabat yang lebih senior.
Dalam hubungan ini penting untuk dikutip riwayat yang lain. Abu Hurairah berkata :
أخبرنا عبدُ الله بن محمد الأزدي ، حدثنا إسحاقُ بن إبراهيمَ ، أخبرنا سفيانُ ، عن عمرو بنِ دينارٍ ، عن وهبِ بن مُنَبَّهٍ ، عن أخيه قال:سمعت أبا هريرة يقول : ما مِنْ أصحابِ رسولِ الله أكثرَ حديثاً مني إلا عبدُ اللَّهِ بنُ عمرو، فإنَّهُ كانَ يكتُبُ، وكُنْتُ لا أَكْتُبُ.
Artinya : Mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah ibn Muhammad al-Azadi, menceritakan kepada kami Ishaq ibn Ibrahim, mengkhabarkan kepada kami Sufyan dari ‘Amr ibn Dinar dari Wahab ibn Munabbih dari saudaranya ia berkata : saya mendengar Abu Hurairah berkata : “Tidak ada sahabat Nabi meriwayatkan lebih banyak dari aku kecuali Abdul bin ‘Amr bin Ash. Dia menulis hadith-hadith sementara aku tidak.”

Disini Abu Rayyah menyakan bahwa “Abdullah telah meriwayatkan jauh lebih sedikit dibanding Abu Hurairah, misalnya musnad ibn Hambal termaktub 722 hadis yang diriwayatkan olehnya dan Bukhari mencatat tujuh sedangkan Muslim dua puluh. Abu Rayyah menduga keras bahwa Abu Hurairah mungkin tidak berani meriwayatkan hadis sebanyak seperti yang diinginkannya karena sahabat-sahabat besar masih hidup pada saat dia membuat pernyataan ini. Mereka mungkin tidak setuju dengan kegiatannya. Di lain pihak As Samahi mengutip ibn Hajar, yang menyatakan bahwa Abu Hurairah rupanya mempunyai kesan bahwa hadisnya kurang banyak dibandingkan dengan hadis-hadis Abdullah.

d. Riwayat tentang “Membentang Jubah”
Abu Hurairah tentu merasa bahwa dirinya harus membenarkan iktsarnya. Salah satu riwayat paling masyhur yang mencatat hadis tentang membentangkan jubah.
Tersebut dalam Ash Shahih, bahwa Abu Hurairah berkata :
حدثنا أحمد بن أبي بكر أبو مصعب قال حدثنا محمد بن إبراهيم بن دينار عن ابن أبي ذئب عن سعيد المقبري عن أبي هريرة قال : قلت يا رسول الله إني أسمع منك حديث كثيرا أنساه ؟ قال ( أبسط رداءك ) . فبسطته قال فغرف بيديه ثم قال ( ضمه ) فضممته فما نسيت شيئا بعده.

Artinya : menceritakan kepada kami Ahmad ibn Abi Bakr Abu Mus{‘ab berkata, menceritakan kepada kami Muhammad ibn Ibrahim ibn Dinar dari Abi Dhi’ib dari Sa’id al-Muqbari dari Abu Hurairah berkata : ” Ya Rasulullah, saya mendengar dari tuan banyak hadis, tetapi saya banyak lupa, mendengar itu Nabi bersabda, “hamparkan selimutmu”. Maka Nabi mengambil kain itu dengan tangannya, kemudian Nabi berkata, “berselimutlah”! selanjutnya Abu Hurairah berkata “ maka saya pun berselimut. Setelah itu saya tidak pernah lupa sesuatu yang saya dengar dari Nabi.”

Abu Rayyah meragukan bahwa daya ingat Abu Hurairah tidak begitu bagus, kalau tidak tentu dia Abu Hurairah tidak akan mengeluhkan ini kepada Nabi.

e. Pandangan Orientalis
Pandangan Goldziher seorang orientalis Yahudi terhadap Abu Hurairah bahwa pengetahuannya yang luas tentang hadis-hadis telah menimbulkan keraguan pada jiwa orang-orang yang mengambil darinya secara langsung. Yakni Abu Hurairah menyampaikan dari Nabi apa yang tidak ia dengar dari beliau.
Sedangkan Sprenger yang dikutip HAR. Gibb dan Kramer mengatakan bahwa Abu Hurairah adalah the extreme of pious humbug (orang ekstrim yang berpura-pura suci).

f. Analisis
Mahmud Abu Rayyah telah berupaya keras mendiskripsikan Abu Hurairah dengan cara yang negatif, ia telah mengambil hampir setiap kesempatan untuk menunjukkan kepribadian Abu Hurairah, ia memberi stressing pada semua cacat kecil Abu Hurairah, seperti suka melucu, serakah, tidak serius, meminta-minta dan lain-lain, tentunya dalam rangka menolak Abu Hurairah.
Di sisi lain, kaum ortodoks, terutama yang diwakili oleh ulama-ulama Al Azhar, memupuk rasa takdzim yang amat dalam terhadap Abu Hurairah. Dengan semangat untuk membebaskan Abu Hurairah dari setiap tuduhan, mereka mengemukakan banyak hadis, yang menggambarkan Abu Hurairah sebagai suri tauladan ketaqwaan. Ulama’ lain yang begitu respek kepada Abu Hurairah adalah Kholid Muhammad Kholid yang dituangkan dalam sebuah kitabnya yang berjudul “Rija>l Haula Al-Rasu>l” halaman 430, beliau mengatakan ada tiga rahasia mengapa Abu Hurairah banyak meriwayatkan hadis :
1) Abu Hurairah mempunyai waktu yang luang dan banyak bergaul dengan Nabi dibanding sahabat yang lain.
2) Ia mempunyai daya intelegensi (hafalan yang kuat) dan selalu memohon do’a kepada Nabi Muhammad SAW.
3) Salah satu motivasi Abu Hurairah banyak meriwayatkan hadis adalah syiar untuk Islam.
Dan beberapa faktor banyaknya periwayatan yang diperoleh Abu Hurairah antara lain sebagai berikut :
1) Rajin menghadiri majlis-majlis Nabi
2) Selalu menemani Rasulullah, karena ia sebagai penghuni Shuffah
3) Kuat ingatannya, karena ia salah seorang sahabat yang mendapat doa dari Nabi sehingga hafalannya kuat dan tidak pernah lupa apa yang ia dengar dari Rasulullah.

KESIMPULAN
1. Abu Hurairah hidup bersama Nabi karena dia miskin dan hidup di masjid bersama Nabi sehingga dia banyak mengetahui tentang Nabi Muhammad, sehingga ini dijadikan alasan oleh Abu Hurairah untuk meriwayatkan banyak hadis.
2. Abu Hurairah paling banyak meriwayatkan hadis meskipun dia hidup bersama Nabi selama tiga tahun. Dan banyak ulama Islam yang meragukan semua hadis-hadisnya seperti Mahmud Abu Rayyah karena sebagian hadisnya dikeluarkan untuk kepentingan penguasa pada waktu itu. Para sahabat besar dan Aisyah (istri Nabi) juga menentang dan menolak hadis-hadisnya (Abu Hurairah).
3. Ada juga sebagian yang membela Abu Hurairah dengan menepis semua tuduhan-tuduhan terhadapnya dengan mengeluarkan sanggahan yang sesuai dengan Abu Hurairah. Misalkan, dia (Abu Hurairah) kuat hafalannya karena mendapatkan doa khusus dari Nabi Muhammad.
Klik dibawah ini untuk mendapatkan web hosting Gratisan
Web Hosting

SEKILAS TENTANG KITAB ITTIJAHAT AL-TAFSIR KARYA ABD AL-MAJID ABD AL-SALAM


SEKILAS TENTANG KITAB ITTIJAHAT AL-TAFSIR 
KARYA ABD AL-MAJID ABD AL-SALAM
by sariono sby

Mengetahui ittijah tafsir di era modern (abad ke-20 masehi atau abad ke-14 hijriyah) sangat penting karena setiap tahun terbit kitab-kitab tafsir sehingga para pembacanya banyak yang dibuat bingung karena terlalu banyaknya tanpa mengetahui metode apa yang mereka pakai, kecuali pembaca yang telah memiliki ilmu, demikian menurut Dr.Abdul Majid Abdus Salam al-Muhtasib. Syaikh Fahd bin Sulaiman ar-Rumi menambahkan bahwa studi ini sangat penting karena studi ini bisa menjadi wadah nasehat sekaligus peringatan agar tidak terjerumus kepada kesesatan selain itu melihat perkembangan zaman sekarang ini yang demikian cepat, sehingga kitab-kitab dengan cepat tersebar dan munculnya metode-metode yang mengikuti dan dekat dengan salaf dan ada yang jauh bahkan jauh sekali dari salaf.
Dalam bukunya yang berjudul Ittijahat Tafsir fi al-’Ashr al-Rahin Dr. Abdul Majid Abdus Salam al-Muhtasib menyebutkan ada tiga ittijah tafsir pada masa ini.
1. Ittijah Salafi
2. Ittijah Aqli dan
3. Ittijah Ilmi

Ittijah Salafi
Yaitu kitab-kitab tafsir masa sekarang yang sesuai dengan metode yang dipakai ulama salaf, beliau menyebutkan tiga kitab yang menurutnya mendekati dengan metode tafsir salaf yaitu.
1. Mahasin al-Takwil oleh Syaikh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi
Al-Qasimi dalam setiap pembahasannya selalu berpatokan kepada metode pemahaman salaf as-shalih tanpa menambah dan mengurangi begiti juga ketika menemui hal-hal yang ikhtilaf, selalu ia tanggapi dengan inshaf dan mengikuti dalil.
Tafsirnya berjumlah 17 jilid, telah diterbitkan oleh Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah di Kairo dan ditahqiq oleh Muhammad Bahjah al-Baithar. 
Secara global metode al-Qasimi dalam tafsirnya dapat kita tulis dalam point-point berikut:
A. Banyak menukil perkataan dari kitab-kitab tafsir terdahulu seperti kitab tafsir at-Thabari, Ibnu Katsir, Abu Hayyan dan Ibnu Athiyyah.
B. Termasuk ulama tentang hadits dan ia telah mengarang sebuah kitab yang berjudul Qawaid Tahdits min Funun Musthalah Hadits
C. Berpedoman pada bacaan qiraat yang mutawatir
D. Menolong mazhab Ahlus Sunnah dan ia banyak membantah anggapan dan argument kalangan Muktazilah.
E. Menjauhi riwayat Israiliyyat
F. Terkadang menyebutkan ayat-ayat dalam injil untuk selanjutnya ia bantah

2. Al-Tafsir al-Hadits oleh Muhammad Izzah Daruzah
Kitab ini berjumlah 12 juz dan surat-suratnya diurutkan sesuai dengan waktu turunnya ayat, dalam pendahuluan kitabnya beliau telah menjelaskan metode yang ia pakai yang secara umum sebagai berikut.
A. Membagi ayat menjadi pasal-pasal
B. Menjelaskan kata-kata asing secara singkat tanpa pembahasan nahwu dan balaghah.
C. Menjelaskan kalimat secara global
D. Menjelaskan korelasi antar pasal dan antar surat

3. Al-Tafsir al-Qurani lil Quran oleh Abdul Karim al-Khatib
Kitab ini terdiri dari 6 jilid dan setiap jilid terdiri dari 6 juz, ketika penulis menyebutkan tafsir suatu surat beliau sebutkan waktu turunnya, jumlah ayat, jumlah kalimat, junmlah huruf dan jumlah namanya. Dan secara global metode Abdul Karim al-Khatib dalam tafsirnya dapat kita tulis dalam point-point berikut:
A. Terkadang ia sebutkan sebab turunnya ayat
B. Menyebutkan korelasi antar ayat
C. Ada sedikit kecondongan dengan ittijah ilmi namun dengan pemahaman yang benar
Ittijah ‘Aqli
Ittijah ini dikembangkan oleh Syaikh Muhammad Abduh yang berusaha untuk mencari kecocokan antara Islam dengan budaya Barat, pemikirann Muhammad Abduh banyak diikuti oleh orang-orang setelahnya sehingga ia banyak memiliki murid, mereka seperti; Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh Musthafa al-Maraghi, Abdul Aziz Jawais dan Muhammad Amin.

Thuruq Tafsir menurut Muhammad Abduh
Muhammad Abduh menjadikan tafsir ilmi sebagai fondasi dakwahnya yaitu menyeru manusia kepada perbaikan masyarakat dan membersihkan agama dari semua virus bid’ah dan khurafat, tetapi dengan cara yang demikian ia banyak menyeleweng dari ahli tafsir kalangan salaf as-shalih yaitu dengan cara memahani al-Quran hanya sebagai agama yang menunjukkan manusia kepada kebahagiaan di dunia dan di akhirat dan inilah yang menjadi tujuan mula diturunkannya al-Quran sedangkan pembahasan lainnya hanyalah mengikuti atau sebagai wasilah untuk menuju tujuan tersebut.
Tafsir menurut Muhammad Abduh terbagi menjadi dua.
1. Tafsir yang kering yang jauh dari Allah swt dan kitab-Nya, seperti pembahasan lafadz dan I’rab al-Quran karena pembahasan ini lebih layak disebut sebagai ilmu nahwu atau ilmu ma’ani dan bukan ke pembahasan tafsir.
2. Kepayahan mufasir untuk memahami suatu perkataan dan hikmah dalam pensyariatan sehingga terealisasi makna firman Allah swt bahwa al-Quran itu diturunkan sebagai petunjuk dan rahmat.
Hal-hal nyleneh yang ada dalam metode tafsir ilminya Muhammad Abduh
1. Al-Quran itu tidak mengikuti aqidah akan tetapi aqidah itu diambil dari al-Quran
2. Ada kecondongan terhadap kelompok Muktazilah
3. Mencari kecocokan antara Islam dengan budaya Barat
4. Membolahkan Riba Fadhl
5. Melarang Poligami untuk masyarakat Mesir
6. Fatwa untuk penduduk India untuk mengikuti UU Inggris

Ittijah Ilmi
Ulama terbagi menjadi dua pendapat, ada yang membolehkan dan ada yang melarang, di antara dalil yang digunakan oleh ulama yang tidak membolehkan karena al-Quran adalah kitab suci yang berisi hidayah kepada manusia dan bersifat pasti, bukan ilmu pengetahuan yang sifatnya selalu berubah-ubah atau nisbi.
Kitab tafsir salaf ada yang menggunakan metode ini dalam kitab mereka seperti: Fakhu ar-razi, al-Baidhawi, az-Zarkasyi dan dari kalangan ulama modern seperti: Syaikh Muhammad Abduh, Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Syaikh Thanthawi Jauhari dan Musthafa Shadiq ar-Rafi’i.
Di antara mereka ada juga ulama yang mengingkari metode seperti ini semisal Abu Hayan, as-Syatibi, Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad Syaltut dan Musthafa al-Maraghi dan Dr Abdul Majid dalam bukunya tersebut mengambil sikap untuk mengingkari model ini dengan beberapa alasan:
1. Menyambung-nyambungkan antara al-Quran dan penemuan ilmiah akan mencampur aduk antara ilmu tafsir dengan ilmu I’jaz al-Quran.
2. Sebagaimana diketahui bahwa Nabi Muhammad saw memahami al-Quran secara global dan terperinci sebagaimana yang telah Allah swt jelaskan, demikian juga para sahabat, mereka mengambil yang dhahir dan jika ada yang belum mereka pahami, mereka akan bertanya kepada Rasulullah saw, karena tugas dari Rasulullah saw adalah menjelaskan.
3. Al-Quran adalah kitab agama Islam yang menjelaskan tentang perkara-perkara aqidah.
4. Al-Quran banyak mengisyaratkan benda-benda yang ada disekitar manusia seperti matahari, bulan, bintang, angin dan menganjurkan manusia untuk men-tadabu-ri penciptaan langit dan bumi dalam banyak ayat.

http://referensiagama.blogspot.com
Klik dibawah ini untuk mendapatkan web hosting Gratisan
Web Hosting

PEMBUKUAN DAN PEMBAKUAN AL-QUR’AN

PEMBUKUAN DAN PEMBAKUAN AL-QUR’AN
by sariono sby

PENDAHULUAN
Kajian Al Qur’an (ulumul Qur’an) sebagai salah satu disiplin ilmu keislaman dengan membahasAl Qur’an secara komprehensip dan integral dari berbagai aspeknya telah di populerkan sejak sebelas abad silam oleh Ibn Al Marzubah (w.309 H). Ilmu ini dikembangkan, diperluas dan disempurnakan oleh ulama’ sesudahnya sampai pada Imam Jalaluddin As Suyuthi (w.911H) di buktikan dengan karya ilmiahnya, Al Itqan fi ulumil Qur’an yang secara lengkap dan sistematis membahas tentang Ulumul Qur’an. Di samping itu banyak di kalangan orientalis (mutasyriqun) terutama pada abad ke 19 M/12H antara lain William Muir, G. Weil, Neodeke, R. Bell, A.Rodwell dan lainnya telah mengadakan penelitian dan pembahasan tentang Al Qur’an dari berbagai aspeknya.

PEMBAHASAN
Tinjauan umum tentang Al Qur,an
a. Pengertian Al Qur,an
Ada beberapa pengertian yang telah di kemukakan ulama, dari berbagai disiplin keahliannya, baik dalam bidang bahasa, ilmu kalam, ushul fiqih dan sebagainya. Pengertian yang mereka buat antara satu sama lainnya ada sedikit perbedaan.Dalam hal ini tentu bertendensi pada kecenderungan mereka masing- masing.
Syaikh Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah mengemukakan pengertian Al Qur’an dalam bukunya sebagai berikut :
القران الكريم: هو كتاب الله عز و جل المنزل على خاتم أنبيائه محمد صل الله عليه وسلم بلفظه ومعناه, المنقول بالتواتر المفيد القطع واليقين المكتوب في المصاحف من اول سورة الفاتحة الى اخر سورة الناس
Al-Qur’an al-karim adalah kitab Allah Azza wa Jalla yang diturunkan kepada nabi terakhirnya, Muhammad SAW secara lafal dan maknanya, diriwayatkan secara mutawatir, berfaidah untuk memeri ketetapan dan keyakinan, tarmaktub dalam mushaf mushaf yang diawali surat al fatihahdan di akhiri dengan surat An Nas.

Sedangkan Dr.Subhi al-Salih merumuskan pengertian Al qur’an yang di pandang dapat diterima oleh para ulama terutama ahli bahasa, fiqih dan ushul fiqih sebagai berikut :
القرأن هو الكتاب المعجز المنزل على النبى صل الله عليه وسلم المكتوب في المصاحف المنقول بالتواتر المتعبد بتلاوته
Al Qur’an adalah firman Allah yang bersifat mukjizat, diturunkan kepada nabi Muhammad yang tertulis dalam mushaf mushaf, diriwayatkan secara mutawatir dan yang membacanya di pandang ibadah.

b. Nama-nama Al Qur’an
Al Qur’an memiliki beberapa nama selain nama Al Qur’an itu sendiri. Penamaan tersebut didasarkan pada firman Allah sebagai berikut :
1. Al Qur’an, terdapat dalam surat Al Baqarah, ayat 185.
2. Al Furqan, terdapat dalam surat Al Furqan, ayat 1.
3. Al Kitab, terdapat dalam surat An Nahl,ayat 89.
4. Adz Dzikr, terdapat dalam surat Al Hijr, ayat 9.
Dari beberapa nama yang tersebut di atas yang paling populer adalah al Qur’an.Nama Al Qur’an memiliki keistimewaan dibanding dengan nama yang lain, yaitu kata Al Qur’an hanya digunakan untuk sebutan nama kitab Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dan tidak digunakan pada sebutan yang lain. Sedangkan nama-nama yang lain bersifat umum, selain digunakan untuk sebutan Al Qur’an juga digunakan pada sebutan yang lain.
c. Sejarah Ringkas Turunnya Al-Qur’an
Al Qur’an diturunkan ke dunia secara berangsur angsur selama kurang lebih 2 tahun 2 bulan 22 hari. Berupa beberapa ayat dari suatu surat atau berupa satu surat pendek lengkap. Turunnya Al Qur’an kadangkala di latar belakangioleh sesuatu (asbabun nuzul) kadang kala tidak. Ayat ayat yang memiliki asbabun nuzul pada umumnya berupa ayat ayat hukum (tasyri’iyyah). Turunnya ayat ayat itu adakalanya berupa peristiwa yang terjadi di masyarakat islam, adakalanya pertanyaan dari kalangan sahabat nabi atau ddari kalangan lainnya yang ditujukan pada nabi. Sedangkan ayat ayat yang turun tanpa di dahului asbabun nuzul lebih banyak jumlahnya, misalnya ayat ayat tentang ihwal umat umat terdahulu beserta para nabinya, menerangkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu, menceritakan hal-hal yang ghaib yang akan terjadi atau menggambarkan keadaan hari kiamat beserta nikmat surga dan siksa neraka.
Sedangkan penyampaian al Qur’an secara keseluruhan memakan waktu kurang lebih 23 tahun, yakni 13 tahun ketika nabi masih tinggal di makkah sebelum hijrah ke madinah (yatsrib) dan 10 tahun ketika beliau hijrah ke madinah.
Surat atau ayat Al Qur’an yang diturunkan sebelum nabi hijrah disebut surat atau ayat makkiyah sebanyak 19 jus dari 30 juz.Ciri-cirinya; surat atau ayatnya pendek-pendek,bahasanya singkat padat, kalimatnya banyak diawali dengan yaa ayyuhannaas. Surat makkiyah pada umumnya berupa ajakan untuk bertauhid secara murni (pure monoteisme), juga tentang pembinaan mental dan akhlak.
Contoh surat al-Kauthar 1-3:
!$¯RÎ) š»oYø‹sÜôãr& trOöqs3ø9$# ÇÊÈ Èe@|Ásù y7În/tÏ9 öptùU$#ur ÇËÈ žcÎ) št¥ÏR$x© uqèd çŽtIö/F{$# ÇÌÈ
Sedangkan Al Qur’an yang diturunkan setelah hijrah disebut surat atau ayat madaniyah yang terdiri dari 11 juz dari 30 juz Al Qur’an. Ciri-cirinya; ayat atau suratnya panjang-panjang, gaya bahasanya panjang lebar dan lebih jelas, banyak ayat-ayatnya diawali "يا ايها الذين امنوا". Mengenai kandungan surat madaniyah pada umumnya berupa norma-norma hukum untuk pembentukan dan pembinaan pranata sosial dan negara yang adil dan makmur dimana kondisi masyarakat madinah pada waktu itu lebih berperadaban ketimbang penduduk makkah yang hanya memiliki satu karakter, satu lingkungan, agama yang homogen, sehingga sangat tepat agenda rasulullah untuk periode ini membangun negara Madinah.
Contoh Surat al-Maidah 1:
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& ÏŠqà)ãèø9$$Î/ 4 ôM¯=Ïmé& Nä3s9 èpyJŠÍku5 ÉO»yè÷RF{$# žwÎ) $tB 4‘n=÷FムöNä3ø‹n=tæ uŽöxî ’Ìj?ÏtèC ωøŠ¢Á9$# öNçFRr&ur îPããm 3 ¨bÎ) ©!$# ãNä3øts† $tB ߉ƒÌãƒ ÇÊÈ

d. Hikmah Turunnya Al Qur’an Secara Berangsur-angsur
Hikmah diturunkan Al Qur’an secara berangsur-angsur, antara lain :
1. Untuk meneguhkan hati nabi dalam melaksanakan tugas sucinya sekalipun menghadapi berbagai tantangan dan hambatan yang beraneka ragam, menghibur nabi pada saat menghadapi kesulitan, kesedihan atau perlawanan dari orang-orang kafir.
2. Untuk meneguhkan dan menghibur hati umat islam yang hidup di masa nabi.
3. Untuk memudahkan nabi menghafal Al Qur’an, sebab beliau adalah ummi, demikian juga untuk memudahkan para sahabat nabi yang buta huruf.
4. Untuk memberikan alokasi waktu sebaik baiknya kepada umat islam agar meninggalkan sikap dan mental juga tradisi-tradisi pra islam yang negatif secara berangsur-angsur, karena mereka telah dapat menghayati ajaran-ajaran Al Qur’an secara bertahap pula.
e. Kandungan Al Qur’an
Isi ajaran Al qur’an pada hakekatnya mengandung lima prinsip, sebab tujuan pokok diturunkan Al Qur’an kepada nabi Muhammad untuk di teruskan kepada umat manusia untuk menyampaikan lima prinsip yang terdapat di dalam Al Qur’an, sebagai berikut:
1. Tauhid (doktrin tentang kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa)
Adam sebagai manusia pertama dan nabi pertama adalah seorang yang bertauhid dan mengajarkan tauhid kepada keturunan atau umatnya, tapi realitanya tidak sedikit manusia keturunannya menyimpang dari ajaran tauhid. Mereka ada yang menyembah api,matahari, dewa dan juga memperanak tuhan dan sebagainya. Untuk meluruskan kepercayaan mereka kearah yang benar, yang di ridhai Allah, maka diutuslah nabi dan rasul secara silih berganti, mulai dari nabi Adam AS sampai nabi Muhammad SAW sebagaimana Allah berfirman, QS. An- Nahl:36 dan QS. Al-Ahzab:40

2. Janji (wa’ad) dan Ancaman (wa’id)
Allah menjanjikan kepada setiap manusia yang beriman dan beramal shaleh akan mendapatkan kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat dan akan di jadikan pelestari bumi. Sebaliknya, Allah akan mengancam pada setiap orang yang ingkar kepadaNya dan rasulNya, hidupnya akan mendapatkan kesengsaraan, baik di dunia maupun di akhirat, sebagaimana firman Allah, QS. An-Nur:55 dan Qs. At-Taubah:67-68.
3. Ibadah
Tujuan Allah menciptakan manusia untuk beribadah kepadaNya, sebagaimana firman Allah, QS. Adz-Dzariyat:56. Ibadah bagi manusia berfungsi sebagai manifestasi syukur manusia kepada Tuhannya, atas segala nikmat yang telah di berikan kepadanya, serta ibadah juga berfungsi sebagai realisasi dan konsekwensi logis manusia atas keimanannya kepada tuhan, karena tidak cukup bagi manusia hanya beriman tanpa di sertai amal, sebagaimana pula tidak cukup beramal tanpa di dasari iman. Iman dan amal adalah satu paket yang harus di sejajarkan secara proporsional untuk mencapai kualitas insan kamil.
4. Jalan Dan Cara Mencapai Kebahagiaan.
Untuk mencapai kebahagiaan Allah memberikan petunjuk untuk umat islam dalam Al Qur’an untuk dapat dijadikan pedoman hidup, sebagaimana firmanNya, QS. Al-Baqarah:2.


5. Kisah-kisah umat manusia sebelum umat Nabi Muhammad SAW.
Potret kehidupan umat terdahulu sangat banyak terdapat dalam Al-Qur’an, baik menyangkut peran manusia sebagai protagonis dan antagonis. Kisah-kisah yang terdapat dalam Al Qur’an memiliki nilai berharga bagi umat nabi Muhammad untuk dapat di jadikan ibrah, yaitu mereka dapat mengambil sisi positifnya dan menjauhi sisi negatifnya, Allah berfirman, QS. Yusuf:111
Kelima prinsip tersebut diatas secara global tergambar dalam surat Al-Fatihah, sebagai surat pembuka. Oleh karena itu surat Al –Fatihah dapat di sebut sinopsis atau populer di sebut ummul kitab (induk Al-Qur’an) karena dapat memproyeksikan isi pokok Al-Qur’an secara global.
f. Fungsi Al-Qur’an
Al-Qur’an memiliki beberapa fungsi, diantara fungsi pentingnya adalah:
1. Sebagai sumber monumental segala macam aturan tentang akidah, akhlak,hukum,ekonomi, politik, kebudayaan, pendidikan,dan sebagainya yang harus di jadikan way of life bagi seluruh umat manusia untuk memecahkan persoalan-persoalan yang di hadapinya.QS. Al-Ahzab:36.
2. Sebagai mukjizat nabi Muhammad untuk membuktikan bahwa nabi Muhammad adalah nabi dan rasul Allah dan bahwa Al Qur’an adalah firman Allah, bukan ciptaan nabi Muhammad sendiri.
3. Sebagai hakim yang di beri wewenang oleh Allah untuk memberi keputusan terakhirmengenai masalah yang diperselisihkan oleh pemimpin dari berbagai macam agama sekaligus sebagai korektor terhadap kepercayaan yang menyimpang dari yang sebenarnya yang di lakukan oleh pemeluk agama setelah rasul mereka wafat . Allah berfirman QS.An-Nahl:64.
4. Sebagai penguat kebenaran keberadaan para nabi dan rasul sebelum nabi muhammad. Hanya saja ajaran-ajaran mereka beserta kitab-kitab sucinya sudah tidak orisinil lagi, karena tidak sedikit yang telah di ubah oleh para pemimpin mereka. Allah b erfirman,QS.Al-Maidah:48

PEMBUKUAN DAN PEMBAKUAN AL-QUR’AN
Penulisan Al Qur’an terdiri dari beberapa periode hingga pada tahap pembukuan serta pembakuannya, yaitu :
a. periode nabi Muhammad SAW
Nabi Muhammad menaruh perhatian serius untuk penulisan wahyu. Beliau menunjuk beberapa sahabat untuk dijadikan sekertaris, penulis wahyu dengan menyusun tertib ayat sesuai petunjuk beliau berdasarkan petunjuk Allah lewat malaikat jibril. Mereka diantaranyaadalah, Zait bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abdullah bin Mas’ud, Anas bin Malik, Ubai bin Ka’ab, Muawiyah bin Abu Sufyan, Zubair bin Awwam, Abdullah bin Arqam, Abdullah bin Rawahah dan lainnya. Namun yang paling berkompeten diantara mereka adalah Zait bin Tsabit.
Semua ayat Al Qur’anyang di tulis dihaddapan nabi di tulis di atas benda yang bermacam-macam, antara lain batu, tulang, kulit binatang, pelepah kurma dan sebagainya, di simpan di rumah nabi dalam keadaan masih terpencar-pencar ayatnya, belum terhimpun dalam satu mushaf. Di samping itu para penulis wahyu secara pribadi masing-masing membuat naskah dari tulisan ayat-ayat tersebut untuk koleksi pribadi masing-masing.
Naskah Al-Qur’an yang di simpan di rumah nabi dan di perkuatoleh naskah-naskah yang di buat oleh para penulis wahyu serta di tunjang oleh hafalan para sahabat yang banyak jumlahnya akan dapat menjamin Al-Qur’an tetap terpelihara secara lengkap dan orisinil. Sebagaimana janji Allah dalam Al-Qur’an (QS. Al- Hijr:9) bahwa Allah akan menjaganya sepanjang masa.
b. Periode Khalifah Abu Bakar
Setelah nabi Muhammad wafat, lalu Abu Bakar di pilih sebagai khalifah, terjadilah gerakan pembangkangan membayar zakat dan gerakan keluar dari agama islam dibawah pimpinan Musailamah al Kadzdzab. Gerakan ini segera di sikapi oleh Abu Bakar dengan mengirimnya pasukan yang di pimpin oleh Khalid bin Walid. Terjadilah perang fisik di Yamamah pada tahun 12 H, yang menimbulkan korban tidak sedikit dari kalangan muslimin, termasuk 70 sahabat yang hafal Al-Qur’an terbunuh sebagai syuhada.
Peristiwa tragis ini mendorong Umar bin Khattab untuk menyarankan kepada Abu Bakar agar segera di himpun ayat-ayat Al-Qur’an dalam bentuk mushaf, karena dikhawatirkan hilangnya sebagian al-Qur’an dengan wafatnya sebagian para penghafalnya. Inisiatif Umar dapat diterima oleh Abu Bakar setelah di adakan diskusi dengan pertimbangan-pertimbangan yang seksama.Kemudian Abu Bakar segera memerintah Zaid bin Tsabit untuk segera menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf. Namun Zaid merasa keberatan dengan tawaran ini, karena hal ini menurut Zaid tidak pernah di lakukan oleh nabi. Tapi berkat diplomasi yang dilakukan oleh Abu Bakar yang sepenuhnya di dukung oleh Umar bin khattab, akhirnya Zaid menerimanya dengan lapang dada. Zaid bin Tsabit sangat hati-hati dalam menjalankan tugas berat ini , sekalipun ia seorang penulis wahyu utama dan hafal seluruh Al-Qur’an,.dia dalam menjalankan tugasnya berpegang pada dua hal, yaitu:
1. Ayat-ayat Al-Qur’an yang di tulis di hadapan Nabi dan yang di simpan di rumah Nabi.
2. Ayat-ayat yang di hafal oleh para sahabat yang hafal Al-Qur’an .
Zaid tidak mau menerima tulisan ayat-ayat Al-Qur’an, kecuali dengan disaksikan oleh dua orang saksi yang adil, bahwa ayat-ayat itu benar-benar ditulis di hadapan nabi dan atas perintah dan petunjuknya.
Tugas menghimpun Al-Qur’an itu dapat dilaksanakan oleh Zaid dalam waktu kurang lebih satu tahun, yakni antara setelah terjadinya perang yamamah dan sebelum wafatnya Abu Bakar. Dengan demikian tercatatlah dalam sejarah, bahwa Abu Bakar sebagai orang yang pertama kali menghimpun Al-Qur’an dalam mushaf atas inisiatif Umar bin Hattab dan Zaid bin Tsabit yang ditunjuk untuk menulisnya.
Mushaf Al-Qur’an karya Zaid bin Tsabit itu disimpan oleh Abu Bakar kemudian Umar setelah Abu Bakar wafat, lalu Hafsah putri Umar selaku istri nabi yang ia hafal Al-Qur’an juga bisa baca tulis.


c. Periode Khalifah Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan, terjadilah perbedaan bacaan Al-Qur’an di kalangan umat islam. Kalau hal ini dibiarkan akaan mengganggu terhadap persatuan dan kesatuan umat Islam. Karena itu sahabat Hudzaifah menyarankan kepada Utsman agar segera mengusahakan keseragaman bacaan Al-Qur’an dengan caara menyeragamkan tulisan Al-Qur’an. Kalau misalnya masih terjadi perbedaan bacaan diusahakan masih dalam batas-batas ma’tsur (diajarkan oleh nabi), mengingat Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan tujuh dialek bahasa arab yang hidup pada masa itu.
Utsman bin Affan dapat menerima ide pembakuan Al-Qur’an ini , kemudian membentuk panitia yang terdiri dari empat orang yaitu, Zaid bin Tsabit, Sa’id bin Al Ash, Abdullah bin Zubair dan Abdurrahman bin harits bin Hisyam. Panitia ini di ketuai oleh zaid bin Tsabit yang bertugas menyalin Al-Qur’an yang disimpan oleh Hafsah, sebab mushaf Hafsah dipandang sebagai naskah al-Qur’an standar.
Panitia bekerja menyalin mushaf ini hingga menghasilkan lima buah mushaf untuk di kirim ke beberapa daerah, dengan di sertai instruksi bahwa mushaf Al-Qur’an yang berbeda dengan mushaf Utsman yang dikirim tersebut harus dimusnahkan. Publik pada waktu itu, termasuk para sahabat nabi menyambut baik terhadap terbitnya mushaf Utsmani (mushaf al Imam)ini, dan mematuhi instruksi Utsman bin Affan dengan senang hati.
Setelah tim penyusun berhasil melaksanakan tugasnya, mushaf Hafsah yang di pinjamnya itu di kembalikan kepada Hafsah. Marwan bin Hakam, seorang khalifah bani Umayyah (w.65H) pernah meminta Hafsah agar mushafnya di bakar, tetapi di tolak oleh Hafsah. Baru setelah Hafsah wafat , mushafnya diambil oleh Marwan , kemudian di bakarnya. Tindakan Marwan ini dilakukan karena terpaksa, untuk menjaga eksistensi keseragaman Al-Qur’an yang telah di bakukan oleh Utsman, juga untuk menghindari keragu-raguan umat Islam di masa mendatang terhadaap mushaf Al-Qur’an jika masih terdapat dua macam mushaf , yaitu mushaf Hafsah dan mushaf Utsman.

PEMBUKUAN AUTENTISITAS AL-QUR’AN
Sudah merupakan wacana klasik perdebatan tentang status Al-Qur’an , apakah Al-Qur’an bersifat “qadim” atau “hadits”, apakah Al-Qur’an bersifat “azali” ataukah diciptakan. Perbedaan ini meruncing di antara dua kelompok Islam (mutakallimin).yaitu kelampok mu’tazilah dan kelompok ahlus sunnah wal hadits.
Di samping itu, keautentikan Al-Qur’an menjadi pembahasan serius di kalangan ahli Al-Qur’an. Masalah yang muncul adalah bagaimana proses penurunan Al-Qur’an itu sendiri. Konsep yang kemudian di rumuskan adalah bahwa Al-Qur’an diturunkan melalui dua fase. Fase pertama, Al-Qur’an di turunkan secara sekaligus dari Lauh al-Mahfudz ke langit dunia. Sedangkan fase kedua Al-Qur’an diturunkan secara bertahaap dari langit dunia ke bumi melalui nabi Muhammad sebagai utusan Allah. Pemikiran ini dapat menjembatani kesenggangan mengenai problem keqadiman dan kehaditsan Al-Qur’an. Namun konsep ini menurut Ali Shadiqin, hanya dapat di pahami pada tataaran teologis, karena secara empiris, Al-Qur’an di turunkan di tengah-tengah masyarakat yang memiliki kebudayaan yang mengakar.Artinya secara historis Al-Qur’an tidak turun dalam ruang hampa yang tanpa konteks. Sebagai pesan Tuhan, wahyu memiliki obyek sasaran dan sasaran itu adalah masyarakat arab pada abad ke 7 Masehi. Dengan demikian, melepaskan wahyu dari konteks sosial budayanya adalah pengabaian terhadap historitas dan realitas.
Para ulama ahli Al-Qur’an juga mengakui keterkaitan wahyu dengan konteks dengan memunculkan konsep makkiyah-madaniyah tidak hanya mengidentifikasi ayat berdasarkan tempat turunnya, tetapi pesannya juga terkait dengan problem kemasyarakatan di wilayah tersebut. Asbabun nuzul mengindikasikan adanya proses resiprokasi antara wahyu dengan realitas. Seakan-akan wahyu memandu dan memberikan solusi terhadap problem-problem yang muncul saat itu. Di sisi lain nasikh mansukh, merupakan proses penahapan pengiriman pesan Ilahi dengan penyesuaian terhadap realitas yang berkembang. Konsep-konsep tersebut menunjukkan indikasi bahwa Al-Qur’an adalah di ciptakan(makhluk) tuhan untuk masyarakat penerimanya .
Indikasi lainnya dapat dilihat pada proses dialektika antara wahyu dengan budaya lokal arab. Proses penurunan Al-Qur’an mengindikasikan penggunaan pendekatan budaya dari pemberi pesan (Tuhan) kepada penerima pesan. Dari segi bahasa misalnya, Al-Qur’an menggunakan bahasa objek penerima, yaitu bahasa arab. Penggunaan bahasa arab sebagai media penyampai pesan Tuhan tentu memiliki pertimbangan efektifitas komunikasi dan transformasi dari pemberi pesan kepada penerima pesan. Penerima pesan akan dapat menangkap pesan wahyu yang di sampaikan karena menggunakan bahasa mereka sendiri.
Di samping itu juga, pemilihan Nabi Muhammad sebagai rasul penyampai pesan Al-Qur’an juga menggunakan pendekatan budaya. Dari segi suku, nabi Muhammad berasal dari suku quraisy, suku yang paling mulia dan dihormati oleh suku-suku arab lainnya. Apa yang disampaikan beliau akan mudah di dengar oleh suku lain, disamping karena keutamaan dan keteladanan pribadinya.
Tuhan juga menggunakan budaya lokal sebagai media untuk mentransformasikan ajaran-Nya. Hal ini terlihat dengan banyaknya budaya lokal berdialektika dengan Al-Qur’an. Adat istiadat itu meliputiberbagai bidang, baik keagamaan,sosial, ekonomi, politik maupun hukum.
KESIMPULAN
1. Pembukuan al-Qur’an dilatar belakangi banyaknya para penghafal al-Qur’an yang wafat atau gugur. Pembukuan ini terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar as Shiddiq atas prakarsa Umar bin Khattab dengan ketua tim penulisnya Zaid bin Thabit.
2. Pembakuan al-Qur’an dilatar belakangi banyak perbedaan bacaan al-Qur’an yang dapat mengakibatkan perpecahan Umat Islam. Pembakuan ini terjadi pada masa khalifah Uthman bin Affan atas saran Hudaifah dengan tim yang sama dengan tim pembukuannya.
3. Selaku Pemakalah saya sangat setuju dengan pendapat yang masyhur saat ini yang sepakat bahwa:
a. Tata letak surat dan ayat Al-Qur’an itu tauqifi
b. Al-Qur’an itu Hadith namun isinya adalah Qadim
http://referensiagama.blogspot.com
Klik dibawah ini untuk mendapatkan web hosting Gratisan
Web Hosting

KISAH-KISAH DALAM AL QUR’AN (QASHASHUL QUR’AN)

KISAH-KISAH DALAM AL QUR’AN(QASHASHUL QUR’AN)
by sariono sby


PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW yang terbesar. Al-Qur’an juga merupakan kitab suci agama Islam dan merupakan petunjuk serta pedoman hidup manusia. Semua hal telah ada dalam Al-Qur’an.
Dalam Al-Qur’an banyak dijelaskan berbagai kisah, yaitu seperti kisah-kisah masa lampau, seperti kisah para nabi beserta umat-umatnya dan juga kisah-kisah masa kini maupun masa yang akan datang. Kisah dalam Al-Qur’an bukan hanya digunakan sekedar sebagai pencerita saja, tetapi di balik itu semua ada hikmah yang bisa kita ambil dan kita renungi, dan bisa juga kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Al – Qur’an merupakan Huda (petunjuk) bagi manusia, artinya ajaran yang disampaikan merupakan nasihat-nasihat sehingga menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam bentuk pribadi manusia dari dahulu sampai dengan sekarang.
Kisah-kisah dalam al-Qur’an itu sarat sekali dengan pesan dan nasihat, baik secara tekstual maupun kontekstual.Dalam menyampaikan pesan dan nasihat-nasihatnya, tidak selalu disampaikan dengan jelas dan gamblang, kadang penyampaiannya berupa sebuah kisah yang harus dikaji terlebih dahulu atau dianalogkan dengan kejadian saat ini.
Biasanya suatu peristiwa yang dikaitkan dengan hukum kausalitas akan dapat menarik perhatian para pendengar. Apalagi dalam peristiwa itu mengandung pesan-pesan dan pelajaran mengenai berita-berita bangsa terdahulu yang telah musnah, maka rasa ingin tahu untuk menyingkap pesan-pesan dan peristiwanya merupakan faktor paling kuat yang tertanam dalam hati. Dan suatu nasihat dengan tutur kata yang disampaikan secara monoton, tidak variatif tidak akan mampu menarik perhatian akal, bahkan semua isinya pun tidak akan bisa dipahami. Akan tetapi bila nasihat itu dituangkan dalam bentuk kisah yang menggambarkan suatu peristiwa yang terjadi dalam kehidupan, maka akan dapat meraih apa yang dituju. Orang pun akan tidak bosan mendengarkan dan memperhatikannya, dia akan merasa rindu dan ingin tahu apa yang dikandungnya. Akhirnya kisah itu akan menjelma menjadi suatu nasihat yang mampu mempengaruhinya.
Dalam Al-quran terdapat beberapa pokok-pokok kandungan. Diantara pokok-pokok kandungan al-Quran adalah aqidah, syariah, akhlak, sejarah, iptek, dan filsafat.Sebagian orang seperti Mahmud Syaltut, membagi pokok ajaran Al-quran menjadi dua pokok ajaran, yaitu Akidah dan Syariah.
Sastra yang memuat suatu kisah, dewasa ini telah menjadi disiplin seni yang khusus di antara seni-seni lainnya dalam bahasa dan kasusastraan.Tetapi “kisah-kisah nyata” Al Qur’an telah membuktikan bahwa redaksi kearaban yang dimuatnya secara jelas menggambarkan kisah-kisah yang paling tinggi nilainya.
Menurut as-Suyuthi, kisah dalam al-Qur’an sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengingkari sejarah, lantaran sejarah dianggap salah dan membahayakan al-Qur’an. Kisah-kisah dalam al-Qur’an merupakan petikan-petikan dari sejarah sebagai pelajaran kepada ummat manusia dan bagaimana mereka menarik manfaat dari peristiwa-peristiwa sejarah. Hal ini dapat dilihat bagaimana al-Qur’an secara eksplisit berbicara tentang pentingnya sejarah, sebagaimana tercantum dalam QS Ali Imran: 140
bÎ) öNä3ó¡|¡ôJtƒ Óyös% ô‰s)sù ¡§tB tPöqs)ø9$# Óyös% ¼ã&é#÷VÏiB 4 y7ù=Ï?ur ãP$­ƒF{$# $ygä9Ír#y‰çR tû÷üt/ Ĩ$¨Y9$# zNn=÷èu‹Ï9ur ª!$# šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä x‹Ï‚­Gtƒur öNä3ZÏB uä!#y‰pkà­ 3 ª!$#ur Ÿw =Ïtä† tûüÉKÎ=»©à9$# ÇÊÍÉÈ 
Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, Maka Sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa.dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'. dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim,

Muhammad Iqbal menyatakan, “Al Qur’an dalam memperbincangkan kisah ini yang bersifat historis, hampir selama ia bertujuan untuk memberikan suatu pengertian moral atau filosofis yang sifatnya universal.
Ayat-ayat yang berbicara tentang kisah jauh lebih banyak ketimbang ayat-ayat yang berbicara tentang hukum.Hal ini memberikan isyarat bahwa Alquran sangat perhatian terhadap masalah kisah, yang memang di dalamnya banyak mengandung pelajaran (ibrah). Sesuai firman Allah dalam QS.Yusuf : 111
ô‰s)s9 šc%x. ’Îû öNÎhÅÁ|Ás% ×ouŽö9Ïã ’Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$# 3 $tB tb%x. $ZVƒÏ‰tn 2”uŽtIøÿム`Å6»s9ur t,ƒÏ‰óÁs? “Ï%©!$# tû÷üt/ Ïm÷ƒy‰tƒ Ÿ@‹ÅÁøÿs?ur Èe@à2 &äóÓx« “Y‰èdur ZpuH÷qu‘ur 5Qöqs)Ïj9 tbqãZÏB÷sムÇÊÊÊÈ “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. Oleh karena itu kisah/sejarah dalam Alquran memiliki makna tersendiri bila dibandingkan isi kandungan yang lain. Maka perlu kiranya kita sebagai umat Islam untuk mengetahui isi sejarah yang ada dalam Alquran sehingga kita dapat mengambil pelajaran dari kisah-kisah umat terdahulu. Secara garis besar makalah ini akan menjelaskan tentang pengertian qashashul quran, macam-macamnya serta manfaat mempelajari qashashul quran. Selain itu dalam makalah ini akan dipaparkan pula beberapa pendapat kaum orientalis yang meragukan keaslian (keoriginalan) kisah-kisah umat terdahulu yang terdapat dalam al-Quran beserta bantahan-bantahan terhadapnya. PEMBAHASAN A. TINJAUAN UMUM TENTANG KISAH Qashash berasal dari bahasa Arab al-qashoshu (yang berarti mencari atau mengikuti jejak. Dikatakan, “qashashtu atsarahu” artinya, “saya mengikuti atau mencari jejaknya.” Kata qashash adalah bentuk masdar dari qashsha yang berarti mencari bekasan atau mengikuti bekasan (jejak). Qashash bermakna urusan, berita, khabar dan keadaan.Qashash juga berarti berita-berita yang berurutan. Qashash Al Qur’an ialah khabar-khabar atau hal ikhwal Al Qur’an tentang keadaan umat yang telah lalu dan nubuwat (kenabian) masa dahulu, peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Al Qur’an banyak mengandung keterangan tentang kejadian masa lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri-negeri dan menerangkan bekasan-bekasan dari kaum purba serta peninggalan atau jejak umat.Islam, menceritakan semua keadaan mereka dengan cara yang menarik dan mempesona. Dan memiliki beberapa tahapan yang berkesinambungan. Sesunguhnya al-Qur’an banyak memuat peristiwa-peristiwa masa lalu, sejarah umat-umat terdahulu, Negara, perkampungan dan mengisahkan setiap kaum dengan cara shuratan nathiqah (artinya seolah-olah pembaca kisah tersebut menjadi pelaku sendiri yang menyaksikan peristiwa itu). B. MACAM-MACAM KISAH DALAM AL QUR’AN Materi kisah dalam al-Qur’an secara umum dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : 1. Kisah-kisah tentang para Nabi dan Rasul (qashash al-anbiya’), serta hal-hal yang terjadi pada mereka bersama dengan orang-orang yang beriman dan orang-orang kasfir. Kisah ini mengandung cerita tentang dakwah para Nabi kepada kaumnya, dan mukjizat-mukjizat para Rasul yang memperkuat dakwahnya dan sikap umat-umat yang menentang dan memusuhinya serta marhalah-marhalah (tahapan-tahapan) dakwah dan perkembangannya serta akibat-akibat yang diterima oleh mereka yang mukmin dan golongan-golongan yang mendustakan. Misalnya kisah Nabi Nuh as, Ibrahim, Musa, Harun, Isa, Muhammad saw dan nabi-nabi serta rasul lainnya. 2. Kisah-kisah tentang pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok serta hal-hal yang berpautan atau berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi pada masa lalu dan orang-orang yang tidak dapat dipastikan kenabiannya yang mengandung ibrah (pelajaran). Misalnya kisah orang yang keluar dari kampung halaman, yang beribu-ribu jumlahnya karena takut mati, kisah Talut dan Jalut, dua putra Adam, Ashhabul Kahfi, Zulkarnain, Qarun, Ashhabus Sabtu (orang-orang yang menangkap ikan pada hari sabtu), Ashhabul Ukhdud, Ashhabul Fiil (pasukan gajah) dan lain-lain. 3. Kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah saw, seperti perang Badar dan Uhud yang diterangkan dalam surat al-Imran, perang Hunain dan Tabuk yang diterangkan di dalam surat at-Taubah, perang Ahzab yang diterangkan dalam surat al-Ahzab dan Hijrah serta Isra’ dan lain-lain. Adapun unsur-unsur kisah dalam al-Qur’an adalah : 1. Pelaku (al-Syaksy). Dalam al-Qur’an para aktor dari kisah tersebut tidak hanya manusia, tetapi juga malaikat, jin dan bahkan hewan seperti semut dn burung hud-hud. 2. Peristiwa (al-Haditsah). Unsur peristiwa merupakan unsure pokok dalam suatu cerita, sebab tidak mungkin, ada suatu kisah tanpa ada peristiwanya. Berkaitan peristiwa, sebagian ahli membagi menjadi tiga, yaitu ; a. Peristiwa yang merupakan akibat dari suatu pendustaan dan campur tangan qadla-qadar Allah dalam suatu kisah b. Peristiwa yang dianggap luar biasa atau yang disebut mukjizat sebagai tanda bukti kebenaran, lalu datanglah ayat-ayat Allah, namun mereka tetap mendustakannya lalu turunlah adzab. c. Peristiwa biasa yang dilakukan oleh orang-orang yang dikenal sebagai tokoh yang baik atau buruk, baik merupakan Rasul maupun manusia biasa. 3. Percakapan (Hiwar). Biasanya percakapan ini terdapat pada kisah yang banyak pelakunya, seperti kisah nabi Yusuf, kisah Musa dsb. Isi percakapan dalam al-Qur’an pada umumnya adalah soal-soal agama, misalnya masalah kebangkitn manusia, keesaan Allah, pendidikan dsb. Dalam hal ini al-Qur’an menempuh model percakapan langsung. Jadi al-Qur’an mencerul Qur’an itakan pelaku dalam bentuk aslinya. 4. Tujuan dan fungsi Qashash Apa sebenarnya tujuan dan fungsi kisah dalam Alquran? Kisah-kisah dalam Alquran merupakan salah satu cara yang dipakai Alquran untuk mewujudkan tujuan yang bersifat agama. Sebab al Quran itu juga sebagai kitab dakwah agama dan kisah menjadi salah satu medianya untuk menyampaikan dan memantapkan dakwah tersebut. Oleh karena tujuan-tujuan yang bersifat religius ini, maka keseluruhan kisah dalam Alquran tunduk pada tujuan agama baik tema-temanya, cara-cara pengungkapannya maupun penyebutan peristiwanya. Namun ketundukan secara mutlak terhadap tujuan agama bukan berarti ciri-ciri kesusasteraan pada kisah-kisah tersebut sudah menghilang sama sekali, terutama dalam penggambarannya. Bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan agama dan kesusasteraan dapat terkumpul pada pengungkapan al-Quran. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan kisah Alquran adalah untuk tujuan agama, meskipun demikian tidak mengabaikan segi-segi sastranya. Adapun tujuan dan fungsi dalam Alquran antara lain adalah: 1. Untuk menunjukkan bukti kerasulan Muhammad saw. Sebab beliau meskipun tidak pernah belajar tentang sejarah umat-umat terdahulu, tapi beliau dapat tahu tentang kisah tersebut. Semua itu tidak lain berasal dari wahyu Allah. 2. Untuk menjadikan uswatun hasanah suri tauladan bagi kita semua, yaitu dengan mencontoh akhlak terpuji dari para Nabi dan orang-orang salih yang disebutkan dalam Alquran. 3. Untuk mengokohkan hati Nabi Muhammad saw dan umatnya dalam beragama Islam dan menguatkan kepercayaan orang-orang mukmin tentang datangnya pertolongan Allah dan hancurnya kebatilan. 4. Mengungkap kebohongan ahli kitab yang telah menyembunyikan isi kitab mereka yang masih murni. 5. Untuk menarik perhatian para pendengar dan menggugah kesadaran diri mereka melalui penuturan kisah. Menjelaskan prinsip-prinsip dakwah agama Allah, yaitu bahwa semua ajaran para Rasul intinya adalah tauhid. C. FAEDAH KISAH-KISAH AL QUR’AN Kisah-kisah dalam al-Quran mempunyai banyak hikmah yang agung diantaranya : 1. Menjelaskan asas-asas dakwah menuju Allah dan menjelaskan pokok-pokok syari’at yang dibawa oleh para Nabi, !!$tBur $uZù=y™ö‘r& `ÏB šÎ=ö6s% `ÏB @Aqß™§‘ žwÎ) ûÓÇrqçR Ïmø‹s9Î) ¼çm¯Rr& Iw tm»s9Î) HwÎ) O$tRr& Èbr߉ç7ôã$$sù ÇËÎÈ “ Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku". (Al-Anbiya : 25) 2. Qashah yang terdapat didalam al-Qur’an itu merupakan salah satu bentuk sastra yang menarik perhatian dan dapat ditangkap serta dimengerti oleh orang banyak, karena arti-artinya itu masuk akal, masuk kedalam hati sanubari orang yang membacanya itu. 3. Qashash itu dapat menyingkap tabir tentang hakikat mengemukakan yang ghaib kepada orang-orang yang mendengarkannya. 4. Membenarkan para nabi terdahulu, menghidupkan kenangan terhadap mereka serta mengabadikan jejak dan peninggalannya. 5. Memperlihatkan kebenaran Nabi Muhammad saw. Dalam dakwahnya dengan dapat menerangkan keadaan-keadaan umat yang telah lalu. 6. Menyingkap kebohongan ahli kitab dengan cara membeberkan keterangan yang semula mereka sembunyikan, kemudian menantang mereka dengan mengunakan ajaran yaitu sebelum kitab itu diubah dan diganti. D. HIKMAH PENGULANGAN KISAH Al Qur’an banyak mengandung kisah-kisah yang diungkapkan secara berulang kali di beberapa tempat. Sebuah kisah terkadang berulang kali disebutkan dalam al-Qur’an dan dikemukakan dalam berbagai bentuk yang berbeda.Di satu tempat ada bagian-bagian yang didahulukan, sedang ditempat lain diakhirkan.Demikian pula terkadang dikemukakan secara ringkas dan kadang-kadang secara panjang lebar dan sebagainya. Di antara hikmahnya ialah : 1. Menjelaskan ke-balaghan-an al-Qur’an dalam tingkat paling tinggi. Sebab di antara keistimewaan balaghah adalah mengungkapkan sebuah makna dalam berbagai macam bentuk yang berbeda. Dan kisah yang berulang itu dikemukakan di setiap tempat dengan uslub yang berbeda satu dengan yang lain serta dituangkan dalam pola yang berlainan pula, sehingga tidak membuat orang bosan karenanya, bahkan dapat menambah ke dalam jiwanya makna-makna baru yang tidak didapatkan di saat membacanya di tempat lain. 2. Menunjukkan kehebatan mukjizat al-Qur’an.Sebab mengemukakan sesuatu makna dalam berbagai bentuk susunan kalimat di mana salah satu bentuk dalam berbagai bentuk susunan kalimat di mana salah satu bentuk pun tidak dapat ditandingi oleh sastrawan Arab, merupakan tantangan dahsyat dan bukti bahwa al-Qur’an itu datang dari Allah. 3. Memberikan perhatian besar terhadap kisah tersebut agar pesan-pesannya lebih berkesan dan melekat dalam jiwa. Karena itu pada dasarnya, pengulanganmerupakan salah satu metode pemantapan nilai. Misalnya kisah Musa dengan Fir’aun. Kisah ini menggambarkan secara sempurna pergulatan sengit antara kebenaran dengan kebatilan. Dan sekalipun kisah ini sering diulang-ulang tetapi pengulangannya tidak pernah terjadi dalam sebuah surat. 4. Setiap kisah mempunyai maksud dan tujuan berbeda. Karena itulah kisah-kisah itu diungkapkan. Maka sebagian dari makna-maknanya itulah yang diperlukan, sedang makna-makna lainnya dikemukakan di tempat yang lain, sesuai dengan tuntutan keadaan. E. TUJUAN KISAH DALAM AL-QUR’AN Cerita dalam Al-Qur’an bukanlah suatu gubahan yang hanya bernilai sastra saja akan tetapi cerita dalam Al-Qur’an merupakan salah satu media untuk mewujudkan tujuan aslinya. Bagaimanapun juga Al-Qur’an adalah kitab dakwah dan kitab yang meyakinkan objeknya. Kisah-kisah dalam Al-Qur’an secara umum bertujuan kebenaran dan semata-mata tujuan keagamaan. Jika di lihat dari keseluruhan kisah yang ada maka tujuan-tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut : 1. Salah satu tujuan cerita itu ialah menetapkan adanya wahyu dan ke-Rasulan. Dalam Al-Qur’an tujuan ini diterangkan dengan jelas diantaranya dalam Q.S. [12] : 2-3 !$¯RÎ) çm»oYø9t“Rr& $ºRºuäöè% $wŠÎ/ttã öNä3¯=yè©9 šcqè=É)÷ès? ÇËÈ ß`øtwU Èà)tR y7ø‹n=tã z`|¡ômr& ÄÈ|Ás)ø9$# !$yJÎ/ !$uZø‹ym÷rr& y7ø‹s9Î) #x‹»yd tb#uäöà)ø9$# bÎ)ur |MYà2 `ÏB ¾Ï&Î#ö7s% z`ÏJs9 šúüÎ=Ïÿ»tóø9$# ÇÌÈ “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Qur’an ini kepadamu dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan) nya termasuk orang-orang yang belum mengetahui” (Q.S. Yusuf : 2-3) Dan Q.S. [28] : 3. Sebelum mengutarakan cerita Nabi Musa, lebih dahulu Al-Qur’an menegaskan : (#qè=÷GtR šø‹n=tã `ÏB Î*t7¯R 4Óy›qãB šcöqtãöÏùur Èd,ysø9$$Î/ 5Qöqs)Ï9 šcqãZÏB÷sムÇÌÈ “Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir’aun dengan sebenarnya untuk orang-orang yang beriman”(Q.S. Al-Qashash : 3). Dalam Q.S. [3] : 44, pada permulaan diceritakan Maryam disebutkan : y7Ï9ºsŒ ô`ÏB Ïä!$t7/Rr& É=ø‹tóø9$# ÏmŠÏmqçR y7ø‹s9Î) 4 $tBur |MYä. óOÎg÷ƒt$s! øŒÎ) šcqà)ù=ムöNßgyJ»n=ø%r& óOßg•ƒr& ã@àÿõ3tƒ zNtƒötB $tBur |MYà2 öNÎg÷ƒy‰s9 øŒÎ) tbqßJÅÁtF÷‚tƒ ÇÍÍÈ “Itulah berita yang ghaib, yang Kami wahyukan kepadamu.”(Q.S. Ali Imran : 3) 2. Menerangkan bahwa agama dari Allah, dari masa Nabi Nuh sampai dengan masa Nabi Muhammad SAW, bahwa kaum muslimin semuanya merupakan satu ummat, bahwa Allah yang Maha Esa adalah Tuhan bagi semuanya 3. Menerangkan bahwa agama itu semua dasarnya satu dan itu semuanya dari Tuhan Yang Maha Esa. 4. Menerangkan bahwa cara yang ditempuh oleh Nabi-nabi dalam berdakwah itu satu dan sambutan kaum mereka terhadap dakwahnya itu juga serupa.(Q.S. [11] : 17) `yJsùr& tb%x. 4’n?tã 7poYÉit/ `ÏiB ¾ÏmÎn/§‘ çnqè=÷Gtƒur Ó‰Ïd$x© çm÷YÏiB `ÏBur ¾Ï&Î#ö7s% Ü=»tFÏ. #Óy›qãB $YB$tBÎ) ºpyJômu‘ur 4 y7Í´¯»s9'ré& tbqãZÏB÷sム¾ÏmÎ/ 4 `tBur öàÿõ3tƒ ¾ÏmÎ/ z`ÏB É>#t“ômF{$# â‘$¨Y9$$sù ¼çn߉ÏãöqtB 4 Ÿxsù à7s? ’Îû 7ptƒóÉD çm÷ZÏiB 4 çm¯RÎ) ‘,ysø9$# `ÏB y7Îi/¢‘ £`Å3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Y9$# Ÿw šcqãYÏB÷sムÇÊÐÈ
“Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang ada mempunyai bukti yang nyata (Al Quran) dari Tuhannya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad)[715] dari Allah dan sebelum Al Quran itu telah ada kitab Musa yang menjadi pedoman dan rahmat?. mereka itu beriman kepada Al Quran. dan Barangsiapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan sekutu-sekutunya yang kafir kepada Al Quran, Maka nerakalah tempat yang diancamkan baginya, karena itu janganlah kamu ragu-ragu terhadap Al Quran itu. Sesungguhnya (Al Quran) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman”. (QS. Hud [11] : 17)

5. Menerangkan dasar yang sama antara agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad dengan agama Nabi Ibrahim As, secara khusus, dengan agama-agama bangsa-bangsa Israil pada umumnya dan menerangkan bahwa hubungan ini lebih erat daripada hubungan yang umum antara semua agama. Keterangan ini berulang-ulang disebutkan dalam cerita Nabi Ibrahim, Musa dan Isa.
F. ANALISIS PEMAKALAH / PENDAPAT PRIBADI
Qashashul Quran sebagai pemberitaan Al-Quran tentang ha ihwal umat-umat dahulu dan para nabi, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi secara empiris. Dan memuat peristiwa-peristiwa masa lalu, sejarah umat-umat terdahulu, negara, perkampungan dan mengisahkan setiap kaum dengan cara shuratan nathiqah (artinya seolah-olah pembaca kisah tersebut menjadi pelaku sendiri yang menyaksikan peristiwa itu), dan bertujuan untuk memberikan pengertian tentang sesuatu yang terjadi dengan sebenarnya dan agar dijadikan ibrah (pelajaran) untuk memperkokoh keimanan dan membimbing ke arah perbuatan yang baik dan benar.

KESIMPULAN
Qashashul Qur’an adalah informasi mengenai suatu kejadian/peristiwa baik pada masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang secara berperiodik di mana satu sama lainnya saling sambung-menyambung (berangkai). Adapun kisah tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Dilihat Dari Segi Waktu, terdiri dari kisah hal gaib yang terjadi pada masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang.
2. Dilihat Dari Materi, terdiri dari kisah pada Nabi dan Rasul, kisah tentang peristiwa yang terjadi masa lampau yang tidak dapat dipastikan kenabiannya, dan kisah yang berpautan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa Rasulullah SAW.
Kisah-kisah yang ada dalam al-Qur’an adalah kisah yang paling benar, baik dan mempunyai banyak manfaat bagi kehidupan umat manusia. Adapun manfaatnya antara lain sebagai peringatan, penjelasan tentang keadilan, karunia Allah SWT kepada umat-Nya.
Tidak diragukan lagi bahwa kisah yang baik dan cermat akan digemari dan dapat menembus relung jiwa manusia dengan mudah sehingga segenap perasaan akan mengikuti alur kisahnya tersebut tanpa merasa jemu atau kesal. Akalpun dapat menelusurinya dengan baik. Akhirnya ia memetik dari keindahannya itu aneka ragam.
Inilah fenomena fitrah jiwa yang tentunya perlu mendapat perhatian para pendidik dalam lapangan pendidikan khususnya pendidikan agama yang merupakan esensi pengajaran dan rambu-rambu pendidikan. http://referensiagama.blogspot.com
Klik dibawah ini untuk mendapatkan web hosting Gratisan
Web Hosting

SEKILAS TENTANG AL ITQAN FI ‘ULUM AL QUR’AN

SEKILAS TENTANG AL ITQAN FI ‘ULUM AL QUR’AN
by sariono sby

BIOGRAFI PENULIS KITAB "AL ITQAN FI ‘ULUM AL QUR’AN"

NAMA : Jala>l al Di>n al Suyu>t}i>
NAMA LENGKAP : ‘Abdul al Rahma>n Ibn Abu> Bakr Ibn Muhammad Ibn Sa>biq al Khudha>ri> Al Suyu>t}i>
MASA HIDUP : 1 Rajab 849 H- 19 Jumadil Ula 911 H (1445-1505 M)

SEJARAH RINGKAS :

Kepribadian Imam Jala>l al Di>n Al Suyu>t}i> dengan berbagai aspeknya, tanpa diragukan lagi adalah kepribadian yang unik yang pantas diteliti dan dipelajari. Beliau banyak memperdalam ilmu-ilmu agama dan bahasa, mengarang buku-buku kesusastraan, juga menaruh perhatian besar terhadap sejarah, politik dan sosial.
Beliau dipandang sebagai salah seorang sastrawan paling terkenal pada abad kelima belas. Dengan penanya, beliau menggeluti segala bidang ilmu. Beliau menulis tentang Al Qur’a>n, al Hadi>th, Fiqh, Sejarah, bahasa, Balaghah, Kesusastraan dan lain sebagainya. Beliau juga sangat cinta pada ilmu. Beliau berpindah-pindah dari satu pusat pendidikan ke pusat pendidikan lainnya. Sumber-sumber sejarah menuturkan bahwa beliau telah belajar kepada enam ratus Shaikh (guru) pada zamannya di berbagai negara.
Nama lengkap beliau adalah ‘Abdul al Rahma>n Ibn Abu> Bakr Ibn Muhammad Ibn Sa>biq al Khud}}}}}}a>ri> Al Suyu>t}i>, yang diberi gelar Jala>l al Di>n atau Abu> al Fadhl. Beliau juga dinamakan al Khud}a>ri> ini dinisbahkan kepada al Khud}a>riyah, yaitu nama sebuah tempat di Baghdad. Dan beliau terkenal dengan nama Al Suyu>t}i>, dinisbahkan kepada Al Suyu>t}i>, yaitu sebuah tempat asal dan tempat hidup seluruh leluhur serta ayah beliau, sebelum berpindah ke Kairo. Beliau dilahirkan di Kairo pada tanggal 1 Rajab 849 H. Ayahnya mendidiknya dengan menghafal Al Qur’an, dan wafat saat Al Suyu>t}i> masih berumur lima tahun. Ketika ayah beliau meninggal dunia, beliau menghafal Al Qur’an sampai surat Al Tahrim. Beliau telah menghafal Al Qur’an seluruhnya pada usia kurang dari delapan tahun. Hal itu menunjukkan kemampuannya dalam hafalan, yang selanjutnya menguatkan beliau untuk menghafal sebanyak 200.000 hadith, sebagaimana dinyatakan dalam kitabnya Tadri>b al Ra>wi>.
Al Suyu>t}i> belajar fiqh pada seorang Shaikh yang hidup pada masa itu, yaitu ‘Ilmu al Di>n al Bulqi>ni> dan beliau tetap belajar padanya hingga sang guru wafat.
Semasa hidup al Bulqi>ni>, beliau telah mengarang sebuah kitab yang berjudul Sharh} al Isti’a>dhah wa al Basmalah. Kemudian kitab tersebut, diperiksa oleh gurunya, al Bulqi>ni>, memujinya serta memberi kata pengantar pada kitab itu. Kemudian al Suyu>t}i> melanjutkan studinya dalam ilmu fiqh al Sha>fi’i> pada putra gurunya (al Bulqi>ni>). Dari guru baru inilah beliau banyak mempelajari beberapa kitab fiqh madzhab al Sha>fi’i>. Setelah itu, beliau terus melanjutkan pada Al Sharaf al Mana>wi>.
Dan beliau belajar pada al Ima>m Taqiyu al Di>n al Subki> al Hanafi> selama empat tahun, selain itu beliau juga mempelajari darinya hadis dan bahasa.
Selama empat tahun pula, beliau belajar Ilmu Ushul dan Tafsir dari seorang pakar ilmu tersebut, yaitu al Ka>fiji>. Beliau juga mengadakan sejumlah rihlah (lawatan keilmuan), dimana beliau berkunjung ke Yaman, Maroko dan India.
Beliau juga menyibukkan diri untuk memberi fatwa, mengajar fiqh, hadis, nahwu (ilmu tata bahasa Arab) dan bidang-bidang ilmu lainnya.
Pada usia empat puluh tahun, beliau berhenti memberikan fatwa dan mengasingkan diri di rumah untuk sepenuhnya mengarang. Pekerjaan itu tetap ditekuninya hingga tiba ajalnya. Beliau wafat hari Jum’at pagi tanggal 19 Jumadil Ula 911 H, dan dikuburkan di Qushun.

RESUME KITAB
AL ITQA< ‘ULUn sebenarnya merupakan perluasan dari kitab yang ditulis oleh Jala>l al Di>n yang sebelumnya, yakni al Tahbi>r fi> ‘Ulu>m al Tafsi>r, dimana dalam kitab tersebut Jala>l al Di>n menggabungkan penjelasan dari kitab yang dikarang oleh gurunya yakni al Bulqi>ni> dalam kitab Mawa>qi’ al ‘Ulu>m dengan kitab karangan al Zarkashi> dalam kitab al Burha>n fi> ‘Ulu>m al Qur’a>n. Jala>l al Di>n kemudian memberikan penjelasan yang lebih rinci pada bagian-bagian yang penting dan memasukkan bagian satu ke bagian lainnya.
Oleh karena itu, kitab ini diberi nama al Itqa>n fi> ‘Ulu>m al Qur’a>n dengan harapan bahwa kitab ini dapat menghilangkan dahaga karena ia diibaratkan dapat menjadi sumber mata air bagi orang-orang yang berniat untuk mempelajari al Qur’an secara lebih mendalam.
Kitab ini merupakan sebuah pengantar dari kitab tafsir yang ditulis oleh Jala>l al Di>n sesudahnya yakni kitab Jam’u al Bahraini dan kitab Mat}la’ al Badraini. Di dalamnya dijelaskan secara luas mengenai 80 bagian yang penting dalam mempelajari ilmu al Qur’an.bagian-bagian tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Bagian pertama tentang Makki> dan Madani>
2. Bagian kedua tentang H{ad}ari> dan Safari>
3. Bagian ketiga tentang al Naha>ri> dan al Laili>
4. Bagian keempat tentang S{aifi dan Shita’i>
5. Bagian kelima tentang al Firashi> dan al Naumi>
6. Bagian keenam tentang al Ardi> wa al Sama’i
7. Bagian ketujuh tentang yang pertama kali diturunkan dari al Qur’an
8. Bagian kedelapan tentang yang terakhir diturunkan dari al Qur’an
9. Bagian kesembilan tentang Asba>b al Nuzu>l
10. Bagian kesepuluh tentang yang diturunkan atas lidah sebagian sahabat
11. Bagian kesebelas tentang ayat-ayat al Qur’an yang diturunkan secara berulang
12. Bagian kedua belas tentang ayat-ayat yang diturunkan lebih dahulu dari hukumnya dan ayat-ayat yang diturunkan setelah hukumnya berlaku terlebih dahulu
13. Bagian ketiga belas tentang al Qur’an yang diturunkan secara terpisah dan yang diturunkan secara keseluruhan
14. Bagian keempat belas tentang al Qur’an yang diturunkan secara berkelompok dan secara sendiri-sendiri
15. Bagian kelima belas tentang yang diturunkan kepada sebagian nabi-nabi dan tidak diturunkan kepada nabi-nabi sebelum nabi Muhammad SAW
16. Bagian keenam belas tentang cara diturunkannya al Qur’an
17. Bagian ketujuh belas tentang mengetahui nama-nama al Qur’an dan nama-nama surat
18. Bagian kedelapan belas tentang cara penghimpunan dan penyusunannya
19. Bagian kesembilan belas tentang jumlah surat, ayat-ayat, kata-kata dan huruf-hurufnya
20. Bagian kedua puluh tentang para penghafal dan perawi al Qur’an
21. Bagian kedua puluh satu tentang al ‘Ali (riwayat yang derajatnya tinggi) dan al Nazil (riwayat yang derajatnya rendah
22. Bagian kedua puluh dua tentang al Mutawa>tir
23. Bagian kedua puluh tiga tentang al Mashhur
24. Bagian kedua puluh empat tentang al Ahad
25. Bagian kedua puluh lima tentang al sha>dh
26. Bagian kedua puluh enam tentang al Maud}u’
27. Bagian kedua puluh tujuh tentang al Mudraj
28. Bagian kedua puluh delapan tentang waqaf dan Ibtida>’
29. Bagian kedua puluh sembilan tentang ketersambungan secara lafad}
30. Bagian ketiga puluh tentang Imalah dan fathah dan lainnya
31. Bagian ketiga puluh satu tentang Idgha>m, Idha>r, Ikhfa’, dan Iqla>b
32. Bagian ketiga puluh dua tentang Ma>d (panjang) dan Qas}r (pendek)
33. Bagian ketiga puluh tiga tentang Hamzah dibaca dengan ringan
34. Bagian ketiga puluh empat tentang tata cara Tah}ammul
35. Bagian ketiga puluh lima tentang adab tila>wah
36. Bagian ketiga puluh enam tentang Gharib al Qur’a>n(kata-kata asing)
37. Bagian ketiga puluh tujuh tentang kata-kata yang terdapat dalam al Qur’an yang bukan berasal dari bahasa Hijaz
38. Bagian ketiga puluh delapan tentang kata-kata yang terdapat dalam al Qur’an yang bukan berasal dari bahasa Arab
39. Bagian ketiga puluh sembilan tentang al wuju>h dan al Nadha’ir
40. Bagian keempat puluh tentang makna alat-alat yang dibutuhkan oleh ahli tafsir (mufassi>r)
41. Bagian keempat puluh satu tentang I’ra>b al Qur’a>n
42. Bagian keempat puluh dua tentang kaedah-kaedah penting yang perlu diketahui oleh ahli tafsir
43. Bagian keempat puluh tiga tentang al Muhka>m dan al Mutasha>bih
44. Bagian keempat puluh empat tentang Muqaddamah dan Mu’akhkharah( yang didahulukan dan diakhirkan)
45. Bagian keempat puluh lima tentang Kha>s}s}ah dan ‘Asikh dan Mansu>kh
48. Bagian keempat puluh delapan tentang Mushkil, Muhim al Ikhtila>f, dan Tana>qud}
49. Bagian keempat puluh sembilan tentang Mut}laq dan Muqayyad
50. Bagian kelima puluh tentang Mant}uq dan Mafhum al Qur’a>n
51. Bagian kelima puluh satu tentang tujuan Khit}ab al Qur’a>n
52. Bagian kelima puluh dua tentang hakikat Majaz al Qur’a>n
53. Bagian kelima puluh tiga tentang Tashbih dan Isti’a>rah
54. Bagian kelima puluh empat tentang Kina>yah dan Ta’ri>d}
55. Bagian kelima puluh lima tentang al Has}ru dan al Ikhtis}a>s}
56. Bagian kelima puluh enam tentang Ijaz dan It}nab
57. Bagian kelima puluh tujuh tentang Khabar (berita) dan Insha>’
58. Bagian kelima puluh delapan tentang Bada’I al Qur’a>n
59. Bagian kelima puluh sembilan tentang Fawa>s}il (batasan-batasan) ayat
60. Bagian keenam puluh tentang pembukaan surat
61. Bagian keenam puluh satu tentang akhiran surat
62. Bagian keenam puluh dua tentang hubungan antara ayat dengan surat
63. Bagian keenam puluh tiga tentang ayat-ayat Mutasha>biha>t
64. Bagian keenam puluh empat tentang I’ja>z al Qur’a>n
65. Bagian keenam puluh lima tentang ilmu-ilmu yang bersumber dari al Qur’an
66. Bagian keenam puluh enam tentang Amtha>l (perumpamaan) dalam al Qur’an
67. Bagian keenam puluh tujuh tentang pembagian al Qur’an
68. Bagian keenam puluh delapan tentang Jadlu al Qur’a>n
69. Bagian keenam puluh sembilan tentang nama-nama, Kuniah, dan Laqab
70. Bagian ketujuh puluh tentang Mubhamah al Qur’a>n
71. Bagian ketujuh puluh satu tentang nama-nama orang yang diturunkan al Qur’an kepada mereka
72. Bagian ketujuh puluh dua tentang keutamaan al Qur’an
73. Bagian ketujuh puluh tiga tentang al Qur’an yang paling utama dan yang utama
74. Bagian ketujuh puluh empat tentang Mufrada>t (kosakata) al Qur’an
75. Bagian ketujuh puluh lima tentang kekhususan al Qur’an
76. Bagian ketujuh puluh enam tentang seni kaligrafi dan adab-adab penulisan al Qur’an
77. Bagian ketujuh puluh tujuh tentang ta’wi>l, tafsir al Qur’an dan penjelasan kemuliaan dan keperluan terhadapnya
78. Bagian ketujuh puluh delapan tentang syarat-syarat bagi seorang mufassi>r berikut adab-adabnya
79. Bagian ketujuh puluh sembilan tentang Ghara>’ib al Tafsi>r\
80. Bagian kedelapan puluh tentang tingkatan-tingkatan para ahli tafsir.
Bagian-bagian tersebut di atas jika diteliti lebih jauh akan menghasilkan cabang-cabang ilmu yang baru tentang al Qur’an. Maka dari itu, kitab al Itqa>n fi> ‘Ulu>m al Qur’a>n ini dapat dijadikan pedoman atau dasar untuk mempelajari berbagai macam ilmu yang membahas tentang rahasia al Qur’an sebagai pedoman umat manusia sekaligus sebagai mu’jizat dengan tingkat bahasa yang sangat tinggi yang tidak pernah dapat ditandingi oleh manusia.
Menurut pendapat saya, kitab ini merupakan salah satu karya terbaik yang dihasilkan oleh umat islam yang patut dibanggakan. Imam Jala>l al Di>n al Suyu>t}i> memberikan perhatian yang cukup besar terhadap perkembangan keilmuan tentang al Qur’an yang pada masa itu belum mendapat perhatian yang besar di kalangan para ahli ilmu. Dalam kitab ini disebutkan secara rinci dalam setiap babnya mengenai suatu pembahasan tentang salah satu bagian al Qur’an.
http://referensiagama.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

welcom