Sabtu, 03 Desember 2011

Nisan Sang Pujangga

Sinar senja begitu merahnya
Seakan langit terluka bersama sang pujangga
Berlumur darah karyanya tertulis
Dalam kertas lusuh yang terakhir
Yang terakhir….


Bersandar di nisannya
Ia terbata mengkhayalkannya
Sinar mata sang putri tidur
Yang kini terbangun
Mengutuk gelapnya petang
Gemetar memandang bayangnya
Kecantikan poros tubuh
Dan indahnya rambut cermin bulan
Betapa mengerikannya…
Keindahan yang mencabut nyawa
Dengan kata bertinta darah
Entah bukan dendam ia tuliskan
Meski luka yang ia dapatkan
Begitu dalam….
Kata terakhir….
Hanya berupa sebaris frasa
Dan siapa pun ngeri membayangkannya
Sebuah frasa menjadi tanya
Pantaskah ini semua
Hanya demi sebuah frasa
Hilang sudah sebuah nyawa
Bukan dongeng sayang
Meski lelap karya ini
Membawamu ke alam mimpi
Tak seindah itu…
Hanya sepi sendiri…..

cahaya

Pertama kulihat segenggam cahaya itu . . .
Begitu anggun dan sederhananya
Menusuk sepi di setiap sel tulang rapuhku
Begitu hangat. . .
Tanpa gemerlap lampu warna รข€“ warni
Membuka setiap sekat gelap di hatiku
Begitu sepi . . .
Hingga tak terasa aku telah di tidurkannya
Aku bermimpi tentang malam yang begitu panjang
Dengan angin yang malu untuk saling berlari
Mereka seakan membuka pandangnganku kedepan
Begitu aneh. . .
Kadang terang kadang samar
Aku juga melihat wajah-wajah yang asing bagiku
Mereka mengulurkan tangan halusnya untukku
Tapi mengepa begitu kasar bagiku?
Kembali aku lihat cahaya itu
Begitu lambat . . .
Membuka gerbang-gerbang yang kokoh di depanku
Begitu halus . . .
Mengangkatku terbang merendah
Diantara rimbun jati dan lengkung pelangi
Hingga aku tersadar bahwa aku harus terus berjalan

Dengan Sajak

aku ingin memapas waktu
yang begitu kejam merejam
hingga untuk memejamkan mata
kadang aku mesti memimpikan kata
agar sajak saja yang tercipta
dengan sajak aku bisa tuangkan rindu
sejenak lupakan lajur perjalanan hidup
yang merentang hingga kita baru bertemu
dengan bebatuan hitam membeku
biar tak bisa memapasnya
tetaplah aku ingin menyeberangi
sungai dengan batu berlumut
dilewati aliran air dan kadang lumpur
di bawah lindap kesunyiannya
aku ingin memapas ragu
kobarnya kulihat menyala dalam hatimu
sentuhanku membuatnya hampir surut
tapi dewa tak membiarkannya pupus
karena cinta memang mesti disapa
dengan linang air mata

Cintaku

ada rona yang dilukiskan pada latar langitnya.
Merah membara dan kadang-kadang lembayung,
aku jejaki purnama yang tenggelam diantara awan dan aku ingin terbenam bersama cinta yang kau bawa….,
dinginnya menghangatkan dan memberi aroma rasa,
gemerisik diantara sunyi karena ada bisikan tentang kegelisahanku.
Ketika senja turun dibukit-bukit tak berpenghuni,
Kenalilah musim hujan yang akan membasuh bumi dan kemarau yang akan datang sesudahnya.
Ia kan meranggaskan daun-daun kering disepanjang hari dalam dua belas purnama karena cintaku bersemi diantara dua,
kenalilah warnanya yang disapukan dari gumpalan rinduku. Kasih….. malam-malamku adalah catatan tentang cinta

Syair cinta untuk kekasih

Sayangku,

kenalilah musim hujan yang basah
dan kemarau yang meranggaskan daun-daun kering
di sepanjang hari dalam dua belas purnama
karena cintaku bersemi di dua musim
kenalilah gelisah angin di antara buluh-buluh bambu
yang meliuk ke kanan dan meliuk ke kiri
yang menggemerisik di antara sunyi
karena ada bisikan tentang gelisahku
ketika senja turun di bukit-bukit tak berpenghuni
ada rona yang dilukiskan pada latar langitnya
merah membara dan kadang-kadang lembayung
kenalilah warnanya yang disapukan dari rinduku
sayangku,
malam-malamku adalah catatan tentang cinta
dinginnya menghangatkan dan memberi aroma rasa
aku jejaki purnama yang tenggelam di antara awan
dan aku ingin terbenam bersama cinta yang kau bawa

al wahabiyyah I dan lathifiyyah

wali band

dia

[%27%27%27.jpg]

welcom