Selasa, 22 Januari 2013

Ahmad Pulang Ke Hadapan-MU



Saya punya adik sepupu, namanya Ahmad. Dia putra bungsu tante saya. Hubungan kami berdua sangat dekat, karena memang sedari kecil kami sering main bareng. Kebetulan rumah kami memang berdekatan, baik ketika masih di Lombok dulu, maupun setelah pindah ke Jogja.
Ahmad masih muda, remaja yang sedang berkembang. Penampilannya keren dan dinamis. Senang olahraga dan bermain musik. Ketika sedang menikmati masa mudanya, tak disangka, pada Januari 2011 lalu, dia mendadak jatuh sakit. Ternyata penyakit yang ia derita nggak main-main, tumor otak. Astaga….
Di rumah sakit, Ahmad hanya bisa terbaring di kasur, mengaduh kesakitan seraya memegang kepalanya. Saya sungguh nggak tega ngeliatnya…. Pasti dia kesakitan banget, karena setahu saya selama ini dia itu jarang mengaduh, meskipun sedang sakit….
Secara medis, dokter bilang tumor yang diderita Ahmad nggak bisa diangkat lewat operasi, sebab risikonya sangat tinggi. Kemungkinan sembuhnya sangat sangat sangat kecil. Keluarga besar kami sangat kaget mendengar kabar itu. Saya kurang paham dunia medis, tapi yang saya dengar, tumor yang diderita Ahmad merupakan tumor bawaan lahir, menempel erat di bagian otak yang… saya nggak tahu kata apa yang paling tepat untuk menggambarkannya. Mungkin bisa kita pakai kata krusial.
Intinya, kalau tumor itu diambil, risikonya kalau nggak lumpuh ya meninggal. Tindakan paling baik yang bisa dilakukan adalah menghambat pertumbuhan tumor itu dengan obat-obatan, sambil tentunya berdoa dan mengharap keajaiban.
Setelah keluar dari rumah sakit, keadaan Ahmad berubah total. Fisiknya lemah, responsnya lambat, daya ingatnya menurun drastis, dan keceriaannya hilang. Saya serasa bermimpi dan hampir nggak percaya melihat kondisinya itu. Keadaan berubah begitu cepat. Rasanya baru kemarin saya melihat dia jalan-jalan dengan pacarnya, naik sepeda motor keliling kota. Mendadak dia tidak bisa apa-apa dan harus menahan sakit di kepalanya.
Setelah 6 bulan tersiksa dengan penyakit itu, Ahmad dipanggil Tuhan, tepatnya pada akhir Juni lalu. Sampai detik ini saya masih setengah nggak percaya. Dia masih muda banget, umurnya masih 25 tahun. Sungguh, akhir tahun lalu Ahmad itu adalah pemuda yang aktif, cakep, keren, dan ceria. Asyik menikmati hidup dan kebahagiaan masa muda. Masalah umur atau kematian mungkin sama sekali nggak terpikirkan, seperti kita saat ini. Tapi, kehendak Tuhan memang siapa yang tahu….
Tahun 2009 yang lalu, nenek saya meninggal, dan kami para cucu, termasuk Ahmad, yang mengangkat peti nenek menuju ke pemakaman. Tahun 2011 ini, di rumah duka yang sama, kami para cucu nenek, tanpa Ahmad, kembali mengangkat peti menuju ke pemakaman, kali ini mengantar saudara sepupu kami tercinta….
Selamat jalan Ahmad…. Selamat jalan saudaraku…. Doa kami menyertaimu….
ahmad:foto terakhir kami,(satu dari kanan)
Umur manusia nggak ada yang tahu. Mari kita manfaatkan waktu yang kita punya ini sebaik-baiknya, karena kita tidak tahu kapan waktu itu akan berakhir….

Hidup Dengan Derita.


Dulu waktu saya tinggal di Karawang, saya mempunyai seorang teman. Dia teman kerja saya. Namanya Endang, aslinya orang Tasikmalaya, gak aslinya orang Utan hehe..
Persahabatan kami ini didasari oleh satu lingkungan pekerjaan dan satu kesamaan hobi. Hobi kami saat itu yaitu bicara filsafat dan melakukan perjalanan.
Suatu hari kami jalan-jalan ke Curug Cigentis yang terletak di Selatan Karawang. Curug Cigentis ini masuk ke wilayah Desa Loji, Kecamatan Pangkalan. Perjalanan ke tempat ini, jika ditempuh dengan motor kurang lebih 1 jam.
Jika anda tertarik untuk datang ke Curug Cigentis, bagi yang suka naik angkutan umum anda bisa berhenti di Karawang Barat seandainya angkutan umum tersebut lewat toll. Selepas pintu gerbang toll ada jembatan, kita turun dari jembatan tersebut karena biasanya bus antarkota berhenti disini.
Di bawah jembatan biasanya sudah menanti mobil elf yang akan membawa kita ke Loji-Pangkalan. Mengenai tarif, saya tidak bisa memberikan info lebih lanjut karena terakhir saya kesana sudah beberapa tahun lalu.
Pada waktu itu kami duduk-duduk di depan pintu loket. Karena untuk masuk ke Curug Bigentis, kita mesti bayar biaya retribusi. Kami bertemu dengan penjaga loket tersebut yang saya tidak tahu namanya, maklum dia bukan cewek sih…. Hehehe. Kami mengobrol dengan beliau karena tertarik dengan tongkatnya. Ajaib kali yah tongkatnya, hingga kami tertarik sama tongkatnya. Haha tambah ngaco nih cerita.
Memang ajaib tuh tongkat. Ini kami ketahui setelah kami mengobrol dengan beliau. Katanya ini tongkat bisa mengusir ular. Wow… kami yang anak muda ini merasa tertarik pengen memiliki. Memang pada saat itu yang ada di pikiran kami begitu, padahal kalo sekarang mah pasti saya mikir, buat apa punya tongkat pengusir ular, wong kita hidup di kota bukan di kampung. Maklumlah bang, anak muda kan pengennya eksis.
Lanjut ama cerita. Nah, si tongkat sakti ini konon katanya ngedapetinnya di Gunung Sangga Buana. Wuih, tambah menarik lagi bagi kami nih cerita. Kami terus bertanya bagaimana agar kami bisa kesana dan ke arah mana. Beliau dengan senang hati menunjukkan arahnya.
Kata beliau, jika kita berjalan ke Curug Cigentis, maka di Kampung terakhir menuju kesini ada dua jalan. Yang ke kiri jalan menuju Curug Cigentis, sedangkan jika ke kanan, maka kita akan menemukan jalan menuju SanggaBuana bahkan ke Cianjur. Akhir dari obrolan itu, saya dan Endang berkomitmen untuk melakukan perjalanan ke sana di waktu mendatang.
Dan Alhamdulillah, akhirnya saat yang dinanti tiba juga. Setelah persiapan dengan berbagai bekal kami berangkat juga. Berbunga-bunga rasanya karena bakal jalan-jalan dan menemukan pengalaman baru.
Singkat cerita kami tiba di Desa Loji, sesuai petunjuk si Bapak penjaga itu, di dusun terakhir yang kami temui kami mengambil jalur kanan. Ternyata jalur ini adalah jalur sawah, pantesan kami kemaren tidak melihat jalur ini.
Setelah sawah habis, kita akan menemukan bebukitan. Setelah bebukitan dilewati baru kita menemukan pegunungan. Rute ini memaksa kami sering melakukan banyak istirahat karena kami yang jarang olehraga ini sering kecapean. Maklumlah…biasa olahraga tangan di kamar mandi sih…hahaha… ssst jangan bilang-bilang sapa-sapa.
Ada kejadian unik ketika kami selepas mendaki bukit pesawahan. Saat itu kami yang kecapean, duduk-duduk sambil beristirahat dan tidak lupa photo-photo sambil makan bekal. Tiba-tiba datang rombongan yang terdiri dari seorang kakek tua, seorang wanita berusia enam belas tahunan dan seorang lagi saya lupa cewek cowoknya dan tua atau mudanya.
Waktu itu kami sedang photo-photo, tiba-tiba si kakek menghampiri dan minta photo bareng. Kita melongo dan mata kami saling pandang sambil mengulum senyum. Aih ada-ada saja nih si Kakek, ternyata dia pengen numpang eksis doang hahaha. Karena setelah photo bareng, dia dan gerombolannya langsung ngeloyor pergi..
Kakek .. kakek… eh kakek aku lupa loh ngga nanyain nama cucu kakek…hihi
Setelah si kakek dan gerombolannya menghilang, kami mendapatkan bahan omongan baru. Yaitu tentang keluguan dari si kakek yang minta photo bareng dan tentang kecepatan serta kekuatan mereka dalam melakukan perjalanan. Bayangkan, untuk mendaki kurang lebih 100 meter kami begitu kesulitan dan memerlukan waktu yang lama, tapi bagi mereka hanya dalam hitungan sekejap saja. Dan tahu-tahu sudah tidak terlihat oleh mata. Luar biasa….
Dan tau ngga, ternyata setelah kami mencapai puncak Gunung SanggaBuana, mereka ini tidak ada. Padahal jelas-jelas kami melihat mereka berjalan ke arah kaki Gunung Sanggabuana. Alah ma… jangan-jangan….tatuuuuut.
Setelah dirasa cukup beristirahat akhirnya kami melanjutkan perjalanan. Tiba di kaki gunung, mulai terasa seram. Di kaki gunung kami menemukan kuburan tua. Entah kuburan siapa. Saat itu kami tidak berpikiran apa-apa, yang ada adalah rasa heran, kok ada kuburan di sini dan sudah tua sekali kuburannya.
Ternyata perjalanan kami tambah berat ketika kami mulai mendaki gunung tersebut. Kami hanya bisa mengangkat kaki untuk sepuluh langkah, sisanya kami berhenti. Jalan setapaknya rapih, terdiri dari undakan bebatuan. Saya gak habis pikir, kok bisa naek ke atas gunung tapi ada undakan yang begitu rapih sedangkan hutannya masih begituh angker. Sampai sekarang, pikiran tersebut belum bisa saya temukan jawabannya.
Belum habis pertanyaan tersebut, ada pertanyaan baru lagi. Pertanyaan baru ini timbul setelah melihat rombongan orang datang menyusul kami. Salah satu dari mereka ada yang memanggul barang bawaan. Yang memanggul barang bawaan ini adalah orang upahan, porter bahasa kerennya. Oalaaaah Pak, ini sayah begituh terengah-engah dan capeknya setengah mati untuk mendaki gunung ini, lah ini Bapak enak-enakan memanggul barang, apa sih rahasianya. Dan saya tidak dapat menemukan jawabannya sampai sekarang, karena saya ngga bertanya sama dia hehe dudul.
Siksaan dating ketika hujan turun. Dimana dalam kondisi tanah kering kami kepayahan menaklukan medan, ini ditambah dengan hujan, luar biasa derita yang kami alami saat itu. Hehe lebay mode on.
Setelah delapan jam kami berjuang dengan memaksa kaki dan menguras tenaga akhirnya kami sampai juga di atas gunung. Segala penat letih dan sengsara seakan hilang begitu kami menginjak daratan puncak. Haha… daratan… kesannya abis dari laut. Namun begitulah bayangannya, ibarat lama terombang-ambing dilautan eh nemuin daratan. Gimana gak seneng coba.
Cuman kami terkejut, karena ternyata di atas puncak gunung banyak orang. Wuiiih… kami terbengong-bengong.. kok bisa?… Malah ada yang jualan kopi!! Ah peduli setan coy, liat kopi yang masih mengepul mulut ini langsung goyah, hidung langsung limbung. Dideketin lah tuh tukang kopi. Bang atu….seru saya.
Kopi yang saya pegang itu masih panas, namun karena habis kedinginan langsung saya seruput saja tuh kopi. Ajaib!! Kopinya tidak terasa panas menyengat, tapi panas biasa, yaitu panas yang bisa kita minum… ada-ada aja. Apa karena ilmu saya sudah tinggi sehingga air kopi panas ini tidak begitu panas di mulut. Hehe
Ternyata setelah kejadian itu baru saya tahu teorinya. Teorinya adalah titik didih air di dataran rendah dan dataran tinggi itu berbeda. Di puncak gunung, tekanannya lebih rendah dari normal (1 atm). Jadi, titik didih air pun jadi lebih rendah. Contohnya, pada ketinggian 10.000 kaki, titik didih menjadi 90 C. Itulah kenapa air lebih cepat mendidih di puncak gunung daripada di dataran rendah.
Setelah ngupi, saya melihat-lihat sekeliling. Terkaget-kaget saya mendapati kenyataan di sekeliling puncak gunung ini. Saya tidak bisa menerima kenyataan ini. Sungguh… hehe. Ya gimana ga bisa menerima kenyataan, melihat banyak kuburan di atas gunung!!!
Coba pake logika, di atas gunung tidak ada perkampungan tapi kenapa ada banyak kuburan. Gimana caranya?? Jika ini kuburan adalah kuburan penduduk di sekeliling gunung, bagaimana membawa kerandanya dan apakah memang mau bagi pembawa mayit melintasi terjalnya jalan untuk membawa keranda ke atas puncak gunung yang begitu tinggi. Ah pikirin deh sendiri… abang sudah pusing nih.
Hebatnya lagi kuburan ini adalah bukan kuburan orang lokal setelah saya teliti. Orang-orang yang dikubur disini adalah orang Cirebon. Ini menurut perkiraan saya Karena melihat samara-samar kata-kata cirebon di batu nisan salah satu kuburan. Tambah luar biasa lagi…
Menurut desas-desus dari orang-orang yang saya tanyakan mengenai kenyataan yang ajaib ini ada satu cerita yang turun temurun. Katanya dulu, banyak orang berterbangan membawa keranda ke arah Gunung Sangga Buana. Benar tidak cerita ini Wallahualam, tapi kalau melihat kenyataan, ingin rasanya saya percaya.
Banyaknya orang yang ada di atas puncak gunung ini tak lain karena mereka sedang ziarah karena kebetulan waktu itu adalah bulan mulud. Dimana bulan mulud adalah bulannya para peziarah. Pantesan…
Namun sangat disayangkan, banyak peziarah yang musyrik. Mereka meminta-minta ke kuburan. Disituh ada beberapa kuburan yang diberi saung, satu yang saya perhatikan adalah kuburan Eyang Haji Ganda Malela. Nah kemusyrikan mereka macem-macem. Ada yang minta kaya, ada yang minta suara bagus dan lain sebagainya. Ada yang meyakini, jika ingin kaya, maka kita harus meminta kekuburan yang ini. Jika ingin yang lain minta ke kuburan yang itu. Astaghfirullah. Manusia… manusia.
Kemusyrikan ini didukung oleh berdirinya mushalla yang katanya dibangun oleh seseorang yang sudah berhasil karena mengunjungi gunung tersebut. Gak tahu gimana ceritanya… tapi itulah desas desus yang saya dengar.
Gunung Sangga Buana ini gunung yang indah, begitu kokoh mengapit tiga kota. Ke timur adalah kota Purwakarta, Ke selatan adalah kota Cianjur dan ke barat adalah kota Karawang. Jatiluhur bisa dilihat dari sini secara jelas, dimana menambah keindahan gunung ini.
Keunikan saya temui dari gunung ini adalah Elang Jawa. Kita dapat melihat secara dekat Elang Jawa bersarang di atas pepohonan di atas Gunung Sangga Buana ini. Dan seumur hidup baru sekali saya melihat elang yang begitu besar dan di habitat alaminya.

welcom